Beberapa waktu lalu, sebuah berita menyoroti ratusan pekerja yang dirumahkan mendadak tanpa pesangon. Di antara mereka, seorang ibu muda berkata dengan suara bergetar, “Saya tidak tahu harus bagaimana, tapi saya percaya Tuhan pasti buka jalan.” Ucapan singkat itu menggambarkan iman yang tulus, meski dikepung ketidakpastian, ia tetap berani berharap. Nada yang sama terdengar dalam Mazmur 80, ketika Israel dipermalukan musuh dan hidup dalam air mata, mereka tetap berseru kepada Gembala Israel, satu-satunya yang mampu memulihkan mereka.
Mazmur ini dibuka dengan penuh kerinduan, “pasanglah telinga, Engkau yang mengiring Yusuf sebagai kawanan domba!”. Menyebut Allah sebagai Gembala bukan sekadar sapaan, melainkan pengakuan iman. Dalam tradisi kuno, raja digambarkan sebagai gembala yang menjaga rakyatnya. Namun Asaf menegaskan bahwa hanya Yahweh yang benar-benar menuntun, melindungi, dan membawa Israel keluar dari Mesir, seperti anggur yang dipindahkan dan ditanam di tanah yang baru (ayat 9). Tiga kali seruan “Pulihkanlah kami” diulang (ayat 4, 8, 20), menegaskan keyakinan bahwa pemulihan tidak bergantung pada kekuatan manusia, melainkan pada wajah Allah yang kembali bersinar. Inilah inti doa, bahwa hanya ketika Allah hadir dan berkenan, kehidupan dapat ditata ulang.
Meski demikian, pemazmur tidak menutup-nutupi luka batin umat. Ia menggambarkan air mata sebagai makanan dan minuman mereka (ayat 5). Suatu metafora yang melukiskan kesedihan mendalam, seolah duka telah meresap ke dalam keseharian. Dari sisi psikologis, ini mencerminkan apa yang disebut trauma komunal, ketika penderitaan bukan hanya milik individu, tetapi menjadi identitas bersama. Namun justru dalam ratapan itu tersembunyi harapan, keberanian menyampaikan kesedihan kepada Allah, membuat air mata berubah menjadi doa. Pertanyaan “berapa lama lagi?” bukanlah tanda putus asa, melainkan keberanian untuk tetap percaya bahwa Allah masih mungkin menjawab.
Sahabat Alkitab, iman sejati tidak selalu hadir dalam senyum atau kepastian, melainkan juga dalam pertanyaan dan tangisan. Bertanya kepada Allah bukanlah tanda ragu, melainkan bukti bahwa kita masih berharap kepada-Nya. Sama seperti anggur yang hanya dapat berbuah bila mendapat cahaya matahari, hidup kita hanya akan bertumbuh bila wajah Allah bersinar atas kita. Di tengah ketidakadilan sosial, degradasi moral, dan krisis yang melingkupi bangsa, janganlah kita bungkam. Beranilah bertanya, sebab pertanyaan yang lahir dari iman akan menjaga harapan tetap hidup. Dan ketika kita berbalik kepada-Nya, kita tidak hanya menantikan pemulihan, tetapi juga dipanggil untuk menjadi agen pemulihan di tengah dunia.