Sejarah manusia seringkali menunjukkan sebuah kebiasaan berulang: kita diberi banyak, tapi mudah melupakan; kita ditolong, tapi cepat berbalik; kita dipenuhi, tapi masih merasa kurang. Realitas ini tampak jelas dalam kehidupan bangsa Israel, juga terasa dekat dengan dunia kita hari ini. Kita hidup di tengah era kemajuan teknologi dan kebebasan informasi, tapi masih saja terjebak dalam “pemberhalaan” baru, dalam bentuk uang, kuasa, popularitas, yang menggantikan Allah sebagai pusat hidup. Mazmur 78 menjadi sebuah refleksi tentang betapa keras kepala dan rapuhnya manusia, yang diperhadapkan dengan kesabaran dan pemeliharaan Allah yang lestari.
Asaf dalam Mazmur ini mengingatkan tragedi di Silo, ketika bangsa Israel yang sudah menetap di Tanah Perjanjian justru mengkhianati Allah. Mereka diibaratkan seperti “busur yang berbalik arahnya”, tampak kuat, tetapi gagal mengenai sasaran. Mereka berpaling kepada ilah Kanaan, membangun “tempat-tempat pemujaan” dan menyembah patung. Akibatnya, Allah meninggalkan kemah-Nya, dan tabut perjanjian dirampas musuh (1 Samuel 4). Kekalahan kala itu lebih dari sekadar kekalahan militer, melainkan kehilangan kemuliaan, hingga lahir nama Ikabod, yang berarti “kemuliaan telah meninggalkan Israel.” Namun, meski umat gagal menjaga kemuliaan Allah, Allah sendiri yang menjaga kemuliaan-Nya. Bahkan di kuil Dagon, Allah menunjukkan kuasa-Nya dengan meruntuhkan berhala dan mempermalukan bangsa Filistin (1 Samuel 5). Pesannya jelas, kesetiaan Allah tidak bisa dipenjara oleh ketidaksetiaan manusia.
Mazmur ini kemudian ditutup dengan nada penuh harapan. Allah menata ulang sejarah umat-Nya. Ia menolak Silo dan Efraim, lalu memilih Sion sebagai pusat ibadah, dan memilih Daud sebagai gembala. Dari seorang anak gembala yang sederhana, Allah membangun kepemimpinan yang berakar pada ketulusan hati dan kecekatan tangan. Di balik kegagalan Israel, Allah membuka jalan baru, menunjukkan bahwa Ia tidak pernah menyerah pada umat-Nya. Sejarah ini bukan sekadar nostalgia, melainkan jejak ilahi yang berulang: ketika manusia gagal, Allah merancang awal yang baru.
Sahabat Alkitab, jika kita melihat Mazmur 78 secara utuh, kita mendapati jejak hikmat yang berkelindan. Dari seruan untuk mendengarkan pengajaran (ayat 1–11), peringatan untuk tidak meragukan Allah (ayat 12–22), teguran atas lapar yang tak pernah puas (ayat 23–37), pengakuan akan kesetiaan Allah yang tak pernah lelah (ayat 38–55), hingga akhirnya pemberontakan yang dibalas dengan pemeliharaan (ayat 56–72), semuanya menggambarkan dialektika iman manusia yang rapuh berhadapan dengan kasih Allah yang teguh. Maka, kita diajak untuk memilih: apakah kita akan terus menjadi busur yang berbalik arah, ataukah membiarkan Allah membentuk kita menjadi umat yang setia?
Di sinilah kabar pengharapan itu nyata: kasih Allah tidak berakhir pada teguran, melainkan berbuah dalam pemeliharaan. Meski kita kerap jatuh dalam pemberontakan, dalam egoisme, keraguan, atau ketidaksetiaan, Allah tetap membuka jalan pulang dan menyediakan gembala yang menuntun. Maka, respons kita yang paling sederhana sekaligus penting adalah belajar setia dalam langkah kecil: mendengar dengan rendah hati, percaya dengan tulus, dan berjalan dengan hati yang terbuka. Sebab pemberontakan kita hanya menemukan jawaban di dalam pemeliharaan-Nya yang tidak pernah lelah.