Kita hidup di zaman ketika kebersamaan semakin memudar. Banyak orang merasa cukup dengan doa pribadi, ibadah daring, atau sekadar “beriman di hati.” Namun Mazmur 81 mengingatkan bahwa iman bukan sekadar perjalanan soliter. Iman adalah nyanyian yang menemukan maknanya ketika dinyanyikan bersama.
Mazmur ini dimulai dengan ajakan untuk bersorak, bernyanyi, dan meniup sangkakala. Pujian bukan hanya suara yang naik ke langit, melainkan gema yang menyatukan hati dalam persekutuan. Ia mengingatkan kita bahwa ada waktu-waktu khusus di mana umat dipanggil untuk berkumpul, bukan karena Allah menuntut ritual, tetapi karena manusia membutuhkan persekutuan agar tidak terjebak dalam kesendirian.
Pemazmur menyebut nama Israel, Yakub, dan Yusuf. Nama-nama itu bukan sekadar label sejarah, melainkan memori kolektif, lapisan identitas yang membentuk umat. Dengan menyebutnya, pemazmur seolah berkata: kita tidak pernah sendirian dalam perjalanan iman. Kita berdiri di atas kisah orang-orang yang telah berjalan sebelum kita, dengan segala luka dan kemenangan mereka. Inilah inti dari persekutuan: kita merayakan Allah bukan hanya dengan suara kita hari ini, tetapi dengan suara seluruh generasi yang membentuk kita.
Namun, Mazmur ini tidak berhenti pada sorak-sorai. Ada suara Allah yang masuk, lembut namun tegas. Allah mengingatkan bagaimana Ia mendengar keluhan umat-Nya, bahkan melalui bahasa yang tidak dikenal atau jeritan yang tidak terucap. Di sinilah kita bertemu Allah yang peka, yang berempati, yang menundukkan diri untuk merasakan penderitaan manusia. Hal ini menyingkapkan relasi terdalam antara manusia dan yang ilahi, yaitu bahwa Allah tidak hadir sebagai penguasa yang jauh, tetapi sebagai Pribadi yang ikut menanggung rasa, yang dalam bahasa iman disebut sebagai kasih.
Sahabat Alkitab, pujian dalam persekutuan merupakan ruang praksis melawan kesepian zaman ini. Ketika kita membuka mulut dan hati dalam kebersamaan, kita sedang membiarkan Allah menyatukan kita dalam harmoni yang lebih besar daripada suara kita sendiri. Mazmur 81 menantang kita untuk tidak hanya datang ke ibadah, tetapi sungguh hadir. Mengizinkan diri ditarik keluar dari isolasi menuju persekutuan kasih.
Di sanalah pujian menemukan maknanya, dan di sanalah manusia belajar: bahwa hidup ini bukan hanya tentang mencari jalan sendiri, melainkan berjalan bersama, dalam musik rahmat Allah yang tidak pernah padam.