Ada kerinduan yang tak pernah padam di hati Allah. Kerinduan itu bukan lahir dari kebutuhan untuk dipuja, melainkan dari kasih yang menginginkan keutuhan relasi. Mazmur 81 menyingkapkan paradoks ini: Allah yang Mahakuasa justru menampakkan diri sebagai Allah yang merindukan umat-Nya, bahkan terluka oleh penolakan mereka. Inilah sisi terdalam dari relasi perjanjian, bahwa Allah bukan sekadar penguasa yang memberi hukum, melainkan Pribadi yang menanti jawaban cinta.
Ayat 10-11 menegaskan panggilan itu, “Janganlah ada diantaramu ilah lain, dan janganlah engkau sujud menyembah ilah asing. Akulah TUHAN, Allahmu, yang menuntun engkau keluar dari tanah Mesir”. Perintah ini bukan beban, tetapi undangan untuk tetap setia pada Dia yang telah mengangkat umat dari perbudakan. Allah berjanji, “bukalah mulutmu lebar-lebar, maka Aku akan membuatnya penuh”. Namun janji itu berbalik tragis, umat menutup mulutnya bagi kasih Allah, tetapi membuka hati bagi dewa-dewa asing. Hal ini dapat terjadi karena manusia sering terjebak pada ilusi kebebasan: merasa merdeka dengan memilih jalannya sendiri, padahal sesungguhnya terikat pada kuasa-kuasa yang semu.
Ayat 12-14 seolah menjadi jeritan batin Allah, “Tetapi, umat-Ku tidak mendengarkan suara-Ku…” Di sini kita melihat Allah mengizinkan umat berjalan dengan rancangan mereka sendiri. Bukan karena Ia tidak mampu menolong, tetapi karena kasih sejati tidak memaksa. Hukuman terberat bukanlah murka yang menyala, melainkan ketika Allah membiarkan manusia menanggung akibat pilihannya sendiri. Namun, bahkan dalam kepedihan itu, kerinduan Allah masih bergaung, “Sekiranya umat-Ku mau mendengarkan Aku”. ‘Sekiranya’ menjadi kata yang menyiratkan luka sekaligus harapan.
Selanjutnya, pada ayat 17 kita mendapati gambaran yang indah dan mendalam. Tentang Allah ingin memberi gandum terbaik, bahkan madu dari gunung batu. sebuah simbol kelimpahan dan pemeliharaan yang tak terduga. Allah bukan hanya Allah yang menuntut, melainkan Allah yang memberi; bukan hanya Allah yang mengingatkan, tetapi juga Allah yang mengenyangkan. Di tengah kerasnya batu kehidupan, Ia menjanjikan manisnya madu; di balik kesulitan, ada kelimpahan kasih yang menanti.
Sahabat Alkitab, mazmur hari ini membawa kita kepada kesadaran bahwa Allah bukanlah Pribadi yang jauh dan asing, melainkan Dia yang senantiasa merindukan jawaban kasih dari umat-Nya. Relasi dengan Allah adalah perjumpaan cinta yang hanya bermakna bila dijawab dengan kebebasan. Artinya, Allah tidak menuntut ketaatan yang bersifat mekanis, melainkan ketaatan sebagai jawaban cinta yang tulus. Bagi kita hari ini, pesan Mazmur 81 menjadi undangan untuk berefleksi, “Adakah kita masih peka terhadap kerinduan Allah?” Di tengah dunia yang penuh kebisingan, mungkin panggilan terbesar iman bukanlah melakukan hal-hal spektakuler, melainkan belajar mendengar kembali suara Allah yang rindu bersekutu dengan kita. Di sanalah hidup menemukan maknanya, bukan dalam mencari ilah-ilah baru, melainkan dalam merespons kasih yang tak pernah berhenti menanti.