Bayangkan sebuah keluarga yang menanam pohon anggur di halaman rumahnya. Dengan penuh cinta mereka merawatnya: menyiangi tanah, menegakkan pagar, menyiram setiap hari, hingga pohon itu tumbuh menjalar, menaungi halaman, dan menghasilkan buah yang manis. Pohon itu membawa harapan dan sukacita. Namun, ketika pagar roboh, segalanya berubah. Binatang liar masuk, merusak ranting, memangsa buah, hingga pohon itu layu dan hampir mati. Kini, pemandangan yang dahulu indah, tersisa kerusakan yang menyesakkan.
Gambaran inilah yang dialami oleh umat, sesuai kesaksian Mazmur 80. Israel dipandang sebagai pohon anggur yang dipindahkan Allah dari Mesir lalu ditanam di tanah Kanaan. Di masa awal, pohon itu tumbuh subur di bawah pemeliharaan Ilahi, ranting-rantingnya menjulur sampai ke laut (ayat 11). Namun dalam ayat 13, terdengar pertanyaan getir, “Mengapa Engkau melanda temboknya?” Sebuah protes iman yang mempertanyakan mengapa Allah seakan merusak karya tangan-Nya sendiri. Pohon anggur yang dahulu tumbuh subur kini hancur. Rantingnya dan buahnya direbut musuh. Apa yang disampaikan pemazmur bukan sekadar catatan bencana, melainkan sebuah sajak duka yang lahir dari trauma kolektif. Trauma bangsa yang merasa ditinggalkan oleh Sang Penjaga.
Mazmur 80 merupakan jeritan jiwa yang terluka. Pemazmur tidak menyembunyikan rasa kecewa, melainkan membawanya ke hadapan Allah. Inilah tahap krisis iman yang justru menandai kedewasaan rohani, berani menggugat karena relasi dengan Allah begitu nyata. Memang, perjalanan batin manusia sering melewati kegelapan untuk menemukan bentuk baru yang lebih matang. Dalam Mazmur ini, proses itu tampak jelas: Israel belajar bahwa restorasi iman bukanlah hasil kekuatan sendiri, melainkan buah dari tangan Allah. Ketika mereka memohon, “Ya TUHAN, Allah Semesta Alam, pulihkanlah kami, buatlah wajah-Mu bersinar, maka kami akan selamat” (ay. 20), yang terungkap bukan sekadar kerinduan pada keamanan, tetapi kerinduan pada kehadiran Allah sendiri.
Mazmur ini akhirnya berbicara juga kepada kita yang hidup di zaman penuh kepenatan dan pudarnya harapan. Kita pun sering merasa perlindungan kita roboh, entah dalam relasi, dalam kepercayaan pada institusi, atau dalam hidup beriman. Namun hari ini, pemazmur mengingatkan bahwa restorasi iman tidak lahir dari usaha manusia semata, melainkan dari kesediaan membuka diri kepada cahaya Allah yang kembali bersinar.
Ingatlah bahwa iman sejati bukanlah iman tanpa luka, melainkan iman yang menemukan makna di tengah luka; bukan iman yang menolak hancur, melainkan iman yang di tengah kehancuran masih mampu berkata, “Tuhan, kembalilah, dan pulihkanlah kami.” Maka dari itu, marilah meneguhkan panggilan kita untuk bersama-sama bertobat, mengakui kerapuhan, dan membangun solidaritas iman yang tidak menyerah pada gelap, melainkan menanti terang wajah Allah yang membarui segalanya.