Kita hidup di zaman ketika batas antara yang suci dan yang profan kian kabur. Dunia mengagungkan kebebasan, tapi sering menyingkirkan kesadaran akan kekudusan. Dalam situasi tersebut, Mazmur 99 berbicara dengan nada yang menenangkan sekaligus menegur, bahwa “TUHANlah Raja, biarlah bangsa-bangsa gemetar.” Gemetar bukan karena takut, melainkan karena sadar bahwa hidup manusia tidak otonom. Ada takhta yang lebih tinggi dari kehendak manusia, ada pusat semesta yang tak bisa digantikan oleh ambisi dan sistem dunia. Allah yang bertakhta di atas kerubim itu tidak hanya hadir di Bait-Nya, tetapi juga dalam getaran hati manusia yang mencari kebenaran. Di hadapan-Nya, segala bentuk kuasa manusia harus tunduk. Kekudusan Allah bukanlah jarak yang memisahkan, melainkan daya yang mengundang kita untuk diperbarui di hadapan-Nya.
Pemazmur melukiskan Allah sebagai Raja yang menegakkan keadilan, kebenaran, dan keseimbangan, sehingga kekudusan tidak dipahami sebagai konsep religius yang terpisah dari realitas dunia, melainkan sebagai energi moral yang menata kehidupan. Kekudusan Allah bukan sekadar atribut ritus, tetapi nyata dalam keadilan-Nya yang menjadi dasar keteraturan semesta. Karena itu, kekudusan sejati tidak menjauhkan manusia dari dunia, melainkan menggerakkannya untuk ikut membenahi dunia dengan hati yang selaras dengan kehendak Allah. Dalam terang pemahaman ini, kita menjumpai nama Musa, Harun, dan Samuel—bukan karena kesempurnaan mereka, melainkan karena kesetiaan mereka untuk mendengarkan dan menaati suara Allah. Mereka hidup di ruang pertemuan antara kasih dan keadilan: Allah yang mengampuni, tetapi tidak meniadakan konsekuensi dari dosa.
Sahabat Alkitab, Mazmur 99 mengingatkan kita bahwa kekudusan bukanlah status semata, melainkan perjalanan. Ia tumbuh ketika manusia berani menghadapi dirinya, mendengar suara Allah, dan menata hidup dalam terang-Nya. Maka, di tengah dunia yang menertawakan kesalehan dan menormalkan ketidakbenaran, panggilan itu tetap bergema, “Sebab TUHAN, Allah kita, kudus!”. Dan di dalam gema itulah, kita diundang untuk menjadi cermin kecil dari kekudusan-Nya. Bukan dalam kesempurnaan, melainkan dalam kesetiaan yang terus diperjuangkan.

























