Di tengah tekanan hidup dan tuntutan zaman yang makin kompleks, godaan untuk mengabaikan integritas semakin besar. Di lingkungan kerja, orang jujur sering dianggap lamban karena tidak “bermain cantik.” Kejujuran bisa terasa sia-sia ketika yang curang justru mendapat promosi jabatan, dan yang bersuara benar malah disisihkan. Tidak jarang, orang Kristen pun terjebak dalam dilema antara iman dan pragmatisme: bagaimana tetap setia pada kebenaran di tengah sistem yang rusak? Dalam suasana seperti inilah Mazmur 100–101 berbicara dengan sangat relevan. Ibadah yang sejati, kata pemazmur, bukan hanya nyanyian di bait Tuhan, melainkan komitmen hidup sehari-hari, baik di kantor, di rumah, maupun di tengah masyarakat.
Mazmur 100 adalah mazmur pujian liturgis yang memanggil seluruh bumi untuk bersorak dan melayani Tuhan dengan sukacita. Menarik bahwa kata “melayani” (abad) berarti juga “bekerja.” Artinya, penyembahan kepada Tuhan tidak dibatasi oleh tembok gereja, tetapi diwujudkan dalam etos kerja yang jujur dan penuh syukur. “Ketahuilah bahwa TUHANlah Allah,” seru pemazmur (ayat 3), mengajak umat untuk mengenal Tuhan bukan hanya melalui ritual, tetapi melalui tindakan yang mencerminkan kasih dan kebenaran-Nya. Seperti diungkap Søren Kierkegaard, “Kebenaran yang sejati bukanlah yang diketahui, tetapi yang dijalani.” Maka setiap tindakan yang tulus, setiap keputusan etis di tempat kerja, adalah bagian dari ibadah yang sejati.
Mazmur 101 memperdalam pesan itu dengan menampilkan doa dan komitmen seorang pemimpin yang mau hidup dalam ketulusan, “Aku hendak memperhatikan hidup yang tidak bercela... aku hendak hidup dengan ketulusan hati di dalam rumahku.” (ayat 2). Integritas dimulai dari rumah, dari hal-hal kecil yang tidak dilihat orang lain. Dalam psikologi moral, ini disebut self-integration atau keselarasan antara nilai, kehendak, dan tindakan. Hal ini dipahami pemazmur, bahwa tidak mungkin memimpin orang lain dengan benar tanpa terlebih dahulu menata hati sendiri. Integritas sejati bukanlah kesempurnaan tanpa cela, melainkan kesetiaan untuk terus menapaki jalan kebenaran di bawah terang kasih setia Allah.
Sahabat Alkitab, dalam kehidupan masa kini, integritas menjadi bentuk kesaksian yang paling kuat. Dunia kerja dan masyarakat kita butuh lebih dari sekadar profesionalisme. Mereka butuh hati yang jujur. Setiap orang percaya dipanggil untuk menjadikan iman bukan sekadar identitas, tetapi gaya hidup: menolak kecurangan, bersikap adil meski tak selalu ‘menguntungkan’, dan tetap hidup dengan ketulusan hati. Ketika kita menggabungkan ibadah dan etika, iman dan tanggung jawab sosial, hidup kita menjadi mazmur yang hidup, pujian yang terdengar bukan hanya di gereja, tetapi di ruang-ruang tempat kita bekerja dan berelasi. Integritas adalah bentuk pujian paling nyata kepada Tuhan yang setia. Sebab ibadah yang sejati bukan hanya tentang apa yang kita nyanyikan, tetapi bagaimana kita hidup setelah lagu itu usai.

























