Salah satu tantangan iman di zaman ini adalah menguatnya cara hidup yang serba individualistis. Semakin banyak orang merasa cukup dengan pengalaman iman yang sepenuhnya personal: ibadah secara daring tanpa keterlibatan nyata, kehidupan iman yang kurang mendalam, bahkan keyakinan bahwa perjalanan iman bisa ditempuh sendiri—tanpa komunitas, tanpa komitmen, tanpa kehadiran satu sama lain. Kecewa pada gereja, sibuk dengan urusan pribadi, atau merasa tidak membutuhkan orang lain, menjadi alasan yang sering diungkapkan. Namun, dalam kesendirian itulah kita sering menjadi rentan. Iman yang terputus dari komunitas mudah melemah, dan kasih Tuhan dalam sesama perlahan-lahan kehilangan dayanya. Firman Tuhan melalui Mazmur 119 mengingatkan bahwa hidup dalam persekutuan bukan sekadar pelengkap iman, melainkan kebutuhan yang menjaga kita tetap teguh menghadapi tantangan zaman.
Pada Mazmur 119:51-64, pemazmur mengalaminya sendiri. Ia hidup di tengah ejekan, dicemooh oleh mereka yang meninggalkan firman Tuhan. Pemazmur menggambarkan situasi dari kelompok kecil umat yang tetap setia dalam tekanan sosial. Ia menyiratkan sebuah dilema yang terjadi antara kesetiaan pada firman dan godaan untuk menyesuaikan diri dengan nilai, prinsip dan kehendak mayoritas orang yang seringkali tidak sesuai dengan firman-Nya. Pemazmur bisa saja mundur dan hidup menyendiri, tetapi ia memilih membangun solidaritas rohani. Ia berkata: “Aku menjadi teman bagi semua orang yang takut akan Engkau, dan orang yang berpegang pada titah-titah-Mu” (ay. 63). Dukungan sosial seperti ini menumbuhkan resiliensi, memperkuat moralitas, dan dapat mengurangi stres. Hal ini dapat terjadi karena iman akan terpelihara lebih baik ketika kita terhubung dengan orang lain yang seiman dan sevisi.
Sahabat Alkitab, renungan hari ini mengundang kita untuk mengevaluasi cara kita menghidupi iman. Apakah kita masih berjalan sendirian padahal Tuhan menyediakan komunitas untuk menopang? Gereja bukanlah kumpulan orang sempurna, tetapi persekutuan orang yang sama-sama mengandalkan anugerah-Nya. Dalam komunitas seperti inilah pemazmur bersaksi, “Bumi penuh dengan kasih setia-Mu, ya TUHAN” (ay. 64). Ketika kita berjalan bersama, iman kita dikuatkan, harapan kita diteguhkan, dan kasih Tuhan menjadi nyata melalui kehadiran orang-orang yang Ia tempatkan di sekitar kita. Jika selama ini saudara tengah berada pada titik kekecewaan terhadap komunitas iman serta enggan untuk hidup dalam persekutuan umat Tuhan, marilah kembali pada panggilan hidup dalam persekutuan yang saling menopang, membangun, dan meneguhkan. Percayalah bahwa hidup persekutuan kita akan tumbuh dan berbuah jika ditenagai oleh kasih setia Allah yang tidak pernah meninggalkan umat-Nya.
























