Di zaman ketika segala sesuatu dapat dicari lewat layar dalam hitungan detik, kita sering merasa seolah mengetahui banyak hal tentang hidup, bahkan tentang iman. Namun, semakin banyak informasi yang kita miliki, semakin kita menyadari bahwa pengetahuan saja tidak sanggup menjawab kegelisahan terdalam manusia. Kita bisa tahu bahwa Allah baik, tetapi tetap meragukan-Nya saat hidup terasa gelap. Kita bisa tahu firman Tuhan, tetapi tidak selalu mampu mengandalkannya ketika badai datang. Ada jurang antara “mengetahui” dan “mengerti”, dan di situlah Mazmur 119:65–77 berbicara begitu kuat.
Pemazmur mengungkapkan, “Engkau telah berbuat baik kepada hamba-Mu” (ay. 65). Itu bukan teori yang dihafal, melainkan kesimpulan yang lahir dari proses panjang bersama Allah. Bahkan ketika ia pernah menyimpang, ia mendapati bahwa pengalaman pahit itu justru membawanya kembali kepada hikmat Tuhan. Karena itu ia memohon, “Ajarilah aku pengetahuan dan pertimbangan yang benar” (ay. 66). Kata “ajarilah” di sini bukan sekadar memberi informasi, tetapi membentuk kepekaan dalam menafsirkan kehidupan. Firman Tuhan menjadi tempat ia merasa tenteram, yakni kondisi batin yang stabil karena hati bertumpu kepada Allah. Dengan demikian, pengalaman bersama Allah menembus batas pengetahuan menjadi pengertian batin yang menghidupkan. Dalam rangka menunjukkan sebuah kontras atas pernyataan sebelumnya, orang bebal digambarkan memiliki hati yang “tertutup lemak” (ay. 70). Hati yang mengeras tidak peka terhadap firman, tidak welas asih kepada sesama, dan menolak memahami maksud Allah. Mereka mungkin banyak tahu, tetapi hati mereka tidak tersentuh. Seperti seseorang yang kaya informasi tetapi miskin transformasi.
Pemazmur lalu menatap kepada Sang Pencipta, “Tangan-Mu telah menjadikan dan membentuk aku, berilah aku pengertian …” (ay. 73). Ia sadar bahwa hidupnya adalah pekerjaan tangan Allah, dan hanya Allah yang sanggup menerangkan makna hidup tersebut. Ketersesatan seorang insan terjadi saat ia merasa dapat menemukan makna di luar Allah. Sebagai seorang ciptaan, hanya dalam hati serta kehendak Sang Pencipta lah kita dapat menemukan makna keberadaan yang sejati.
Sahabat Alkitab, marilah kita memeriksa diri. Apakah kita sekadar tahu tentang Tuhan? Ataukah kita sungguh mau mengerti hati-Nya? Pengertian dan pemahaman akan Allah, lahir dari relasi, dari kepercayaan, dari ketaatan yang diuji penderitaan, dan dari perjumpaan setiap hari dengan firman-Nya. Pengertian itu membentuk karakter seorang beriman: kita menjadi lebih peka, lebih mengasihi, dan lebih teguh berdiri dalam iman. Pengetahuan tanpa pengertian hanya akan menjadi informasi kosong. Namun dengan pengertian dari Tuhan, kita akan menemukan ketenteraman sejati, bahkan di tengah hidup yang tidak selalu kita pahami.

























