Dalam kehidupan keluarga sehari-hari, kebanyakan di antara kita bekerja tanpa henti demi orang-orang yang kita kasihi, sambil memikul kecemasan yang jarang terucap tentang masa depan, keamanan, dan keberlangsungan hidup bersama. Orang tua bangun lebih pagi dan tidur lebih larut, berusaha memastikan semuanya cukup: kebutuhan terpenuhi, anak-anak aman, dan masa depan terlihat menjanjikan. Namun di balik kesungguhan itu, ada kelelahan yang tersimpan rapat, dan pertanyaan yang tak selalu berani diucapkan, sampai di mana batas kekuatan kita?
Mazmur 127 mengajak kita berhenti sejenak dan menata ulang cara kita memandang hidup. Pemazmur berkata dengan jujur dan tegas, “Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah jerih payah orang yang membangunnya.” Rumah di sini bukan hanya bangunan fisik, tetapi seluruh tatanan kehidupan. Keluarga, pekerjaan, keamanan, bahkan masa depan yang kita rancang dengan penuh kecermatan. Mazmur ini bukan menolak kerja keras, melainkan menyingkapkan ilusi kemandirian yang membuat manusia merasa mampu menopang hidupnya sendiri.
Secara teologis, mazmur ini menempatkan Allah bukan sebagai pelengkap setelah usaha manusia selesai, melainkan sebagai fondasi sejak awal. Tanpa kehadiran-Nya, kerja keras berubah menjadi kecemasan; disiplin berubah menjadi kelelahan; dan tanggung jawab berubah menjadi beban. Di sinilah hikmat Mazmur 127 terasa sangat relevan: Tuhan memberi ‘tidur’ kepada yang dikasihi-Nya, sebuah simbol kepercayaan, pelepasan, dan istirahat batin.
Menariknya, mazmur ini juga menyebut anak-anak sebagai milik pusaka dari Tuhan. Ini mengingatkan kita bahwa kehidupan bukan sekadar hasil perencanaan, melainkan anugerah. Pesan ini menolong tiap keluarga membangun relasi yang lebih sehat: tidak mengontrol berlebihan, tidak menekan diri dan anggota keluarga dengan standar keberhasilan yang membebani, tetapi belajar mempercayakan proses kepada Tuhan.
Sahabat Alkitab, marilah kita menjalani kehidupan ini bukan dari kecemasan, melainkan dari kepercayaan. Bukan dengan bekerja tanpa henti, tetapi dengan berjalan bersama Tuhan. Dari sanalah kita belajar menemukan ketenangan yang sejati, bukan karena segala sesuatu selalu aman, melainkan karena hidup kita ditopang oleh Pribadi yang setia
























