Mazmur 128 adalah nyanyian para peziarah menuju Yerusalem. Mereka membawa harapan sederhana tentang hidup yang baik, keluarga yang terpelihara, dan masa depan yang layak diperjuangkan. Di tengah dunia yang sering mengukur keberhasilan dari pencapaian dan angka, mazmur ini menawarkan definisi berkat yang lebih sederhana, tetapi jauh lebih dalam.
Bayangkan sebuah keluarga kecil yang setiap pagi memiliki rutinitas masing-masing. Orang tua bekerja dengan segala keterbatasan, anak-anak belajar menghadapi tuntutan sekolah, dan rumah menjadi ruang tempat semua yang lelah itu pulang. Tidak semua hari berjalan ideal. Ada kekhawatiran soal ekonomi, perbedaan pendapat, bahkan keletihan emosional. Namun di tengah keterbatasan itu, keluarga ini memilih satu hal sederhana: menjaga relasi, menghormati satu sama lain, dan menempatkan Tuhan sebagai pusat arah hidup. Tidak selalu ada jawaban cepat atas masalah, tetapi ada rasa aman bahwa mereka tidak pernah sendirian.
Gambaran inilah yang dihadirkan Mazmur 128 melalui metafora pokok anggur dan tunas zaitun. Pemazmur tidak menjanjikan hidup tanpa kerja keras. Justru ia berkata, “Engkau akan memakan hasil jerih payah tanganmu, berbahagialah engkau karena baiklah keadaanmu!” Berkat Allah tidak meniadakan usaha, tetapi memberi makna pada usaha itu. Pokok anggur tidak berbuah dalam semalam, dan tunas zaitun bertumbuh perlahan. Demikian pula keluarga, bertumbuh melalui kesabaran, kehadiran, dan kesetiaan yang dijalani hari demi hari.
Mazmur ini juga menegaskan bahwa berkat tidak berhenti di ruang privat. Ketika keluarga hidup dalam takut akan Tuhan, dalam hormat dan kepercayaan, berkat itu mengalir keluar. Anak-anak belajar nilai, relasi menjadi ruang aman, dan rumah menjadi tempat pemulihan. Dari sana, shalom merambat ke komunitas yang lebih luas, seperti berkat dari Sion yang menjangkau seluruh Yerusalem.
Sahabat Alkitab, keluarga yang sehat bukanlah keluarga tanpa masalah, tetapi keluarga yang menjaga orientasi hidupnya tetap sejalan dengan ketetapan Tuhan. Rasa aman secara emosional lahir ketika anggota keluarga tahu bahwa mereka diterima, didengar, dan diarahkan oleh nilai yang melampaui ego masing-masing. Takut akan Tuhan menjadi fondasi yang menahan keluarga agar tidak runtuh ketika tekanan datang. Maka, marilah kita melihat ulang arti berkat. Berkat bukan sekadar kelimpahan, melainkan kehidupan yang tertata dan relasi yang terjaga. Kita diberkati bukan untuk menyimpannya sendiri, tetapi untuk menjadikan keluarga kita ruang di mana kasih Allah dirasakan dan dibagikan. Di sanalah berkat menemukan tujuannya: menjadi berkat bagi sesama.
























