Bayangkan seseorang yang terluka parah. Ia tidak langsung mampu berlari kembali seperti sediakala. Yang pertama ia butuhkan bukan semangat untuk segera kuat, melainkan ruang aman, tempat di mana ia boleh berhenti, bernapas, dan dirawat. Lukanya mungkin belum sembuh, tetapi justru di ruang aman itulah harapan perlahan bertumbuh. Dari sanalah proses pemulihan dimulai. Pengalaman manusiawi ini menolong kita memahami dinamika iman dalam Mazmur 125 dan 126, yaitu tentang Tuhan yang melindungi agar manusia dapat dipulihkan.
Mazmur 125 dibuka dengan sebuah keyakinan, “Orang yang percaya kepada TUHAN adalah seperti Gunung Sion: tidak tergoyahkan dan tetap untuk selama-lamanya” (Mazmur 125:1). Kepercayaan (bātah) di sini bukan sekadar keyakinan intelektual, melainkan rasa aman yang mendalam, stabilitas batin yang memungkinkan seseorang tidak jatuh meski tekanan datang dari berbagai arah. Gambaran gunung-gunung yang mengelilingi Yerusalem menegaskan bahwa perlindungan Allah bersifat melingkupi, bukan parsial. Sebuah pengalaman secure base, rasa aman yang tidak menghapus masalah, tetapi memberi kekuatan untuk menghadapinya.
Namun Mazmur 125, menunjukkan bahwa pemazmur juga realistis. Pemazmur tidak menutup mata terhadap ketidakadilan dan tekanan dari orang fasik. Ia berdoa agar tongkat kekuasaan orang fasik tidak menetap di atas milik orang benar, sebab tekanan yang berkepanjangan dapat menggoda manusia untuk menyerah pada jalan yang bengkok. Di sinilah iman bekerja bukan sebagai pelarian, melainkan sebagai penopang moral dan batin agar hati tetap lurus di tengah realitas yang timpang. Perlindungan Allah menjaga agar luka tidak berubah menjadi kepahitan.
Mazmur 126 melangkah lebih jauh: dari perlindungan menuju pemulihan. Pemazmur mengingat ketika Tuhan memulihkan kehidupan mereka. Sebuah pengalaman yang terasa seperti mimpi. Tawa dan sorak-sorai menjadi tanda bahwa Allah sanggup membalikkan situasi yang paling gelap. Namun ingatan akan pemulihan masa lalu tidak membuat umat berhenti berdoa; justru sebaliknya, mereka memohon pemulihan yang baru. Melalui ingatan itulah lahir harapan. Jika Tuhan pernah memulihkan, Ia sanggup melakukannya kembali.
Metafora menabur dengan air mata dan menuai dengan sorak-sorai menggambarkan proses pemulihan yang jujur dan bertahap. Secara psikologis, pemulihan sejati memang tidak instan. Air mata bukan tanda kegagalan iman, melainkan bagian dari proses penyembuhan. Iman mengajarkan kita untuk tetap menabur. Tetap hidup, berharap, dan melangkah, meski hasilnya belum terlihat.
Sahabat Alkitab, Mazmur 125 dan 126 mengingatkan kita bahwa Tuhan tidak hanya memulihkan kita setelah luka berlalu, Ia senantiasa melindungi kita di tengah luka itu. Kita dilindungi agar tidak hancur, dan dipulihkan agar dapat kembali bersukacita. Di tangan Tuhan, ruang aman menjadi tanah subur bagi harapan, dan harapan itulah yang perlahan memulihkan hidup.
























