Saat Tuhan Yesus memberitakan tentang kematiannya, para murid malah sibuk memikirkan tentang siapa yang terbesar/paling utama di antara mereka. Sungguh sebuah situasi yang ironis saat Tuhan Yesus berjalan mendekati masa penderitaan dan kematianNya, para murid malah sibuk memperebutkan posisi utama diantara mereka. Sebuah kontras antara hasrat murid dan tugas yang diemban oleh Yesus.
Menanggapi sikap para murid tersebut, sesampainya mereka di rumah, Tuhan Yesus duduk atau dengan kata lain mengambil posisi untuk mengajar. Tuhan Yesus mulai mengajar mereka dengan cara mengajak seorang anak kecil untuk bergabung dengan mereka, ia memperlakukan anak kecil tersebut dengan baik. Anak-anak pada budaya timur tengah kuno memiliki kedudukan sosial yang rendah, perannya tidak penting di masyarakat, dan rapuh.
Melalui upaya Tuhan untuk merangkul dan menyambut anak tersebut sesungguhnya Tuhan Yesus sedang mencontohkan cara menyambutNya dengan benar, sembari menegaskan jika menyambutNya sama dengan benar sama artinya dengan menerima Allah Bapa. Menariknya dalam menggambarkan hal tersebut Yesus menempatkan diri-Nya selayaknya anak-anak pada masa itu yang terpinggirkan dan tidak terperhatikan di masyarakat.
Manusia memang makhluk yang begitu egois, sebagaimana terlihat dalam percakapan para murid yang meminta dirinya diutamakan. Namun sebagai pengikut Kristus kita seharusnya menyadari bahwa kita dipanggil untuk menyapa dan merangkul mereka yang terpinggirkan dalam masyarakat. Sebagaimana Yesus yang merangkul seorang anak yang tidak dianggap di masyarakat, demikianlah kita harus mendahulukan kepentingan mereka yang selama ini tidak terperhatikan. Sesungguhnya saat kita menyambut dan berbuat baik kepada mereka yang terpinggirkan kita tengah melakukan-Nya untuk Tuhan Yesus Kristus yang kita sembah.