Musa mengawali nyanyiannya dengan melibatkan benda-benda angkasa sebagai saksi atas pernyataan imannya kepada Tuhan. Hal ini cenderung menarik, mengingat nyanyian tersebut dilantunkan oleh Musa di hadapan orang Israel. Padahal, Musa bisa saja menjadikan orang-orang Israel sebagai saksi dari nyanyian tersebut dengan mengganti peran setiap benda angkasa tadi. Namun, hal ini bukanlah tanpa makna maupun sekadar aksi puitis belaka, melainkan juga sedang menegaskan perihal esensi dari kesaksian imannya tersebut. Apabila kita perhatikan lebih lanjut, maka kita akan mendapati bahwa Musa memberikan kesaksian mengenai kemuliaan dan kekuasaan Tuhan. Ia tidak sedang memberikan tolok-ukur terhadap kuasa Tuhan tersebut, melainkan ia sedang membagikan pengalaman imannya yang telah hidup dalam kemuliaan dan kekuasaan Tuhan. Bagi Musa, hal itu tidaklah bersifat sementara, melainkan kekal dan tidak dapat ditampung oleh siapa pun juga. Oleh sebab itu, Musa pun memiliki kerinduan agar kesaksian imannya ini tidak hanya menjadi konsumsinya personal, melainkan juga dapat dirasakan oleh orang Israel di berbagai generasi.
Musa menyadari bahwa kecenderungan orang Israel untuk meninggalkan Tuhan amatlah besar, sehingga menjadikan mereka sebagai saksi atas pengalaman imannya justru hanya akan bersifat sementara. Malahan pada ayat 5-7 Musa justru menggugat tindakan balasan dari orang Israel yang belaku tidak setia kepada Tuhan. Padahal, Musa di dalam nyanyian ini pun telah menegaskan bahwa Tuhan telah bertindakan dengan penuh kesetiaan dalam segala kuasa dan penyertaan-Nya yang tiada berkesudahan. Sungguh disayangkan memang bahwa orang Israel begitu cepat melupakan segala kesetiaan Tuhan.
Sahabat Alkitab, gugatan atas ketidaksetiaan yang muncul dalam perikop ini hendaknya juga dapat kita baca sebagai ajakan evaluasi sekaligus refleksi terhadap kualitas iman diri kita sendiri. Apakah kita sudah cukup mampu berlau setia kepada Tuhan atau masih cenderung nyaman untuk meninggalkan-Nya? Mengucapkan kata untuk menjadi setia memang jauh lebih mudah dibanding upaya nyata untuk mengerjakannya. Padahal, nilai kesetiaan kepada Tuhan bukanlah sekadar kata, melainkan komitmen yang mewujud dalam keseharian hidup kita sebagai umat Tuhan.