Fenomena buruh—orang yang bekerja untuk upah—bukanlah hal baru dalam sejarah manusia. Bahkan dalam Alkitab, keberadaan buruh dan problematikanya telah direkam dengan cukup nyata. Salah satu teks yang menyoroti hal ini secara tajam adalah Yakobus 5:4, di mana penahanan upah buruh menjadi kritik keras terhadap para pemilik modal. Artikel ini hendak mengkaji konsep buruh dalam Alkitab, mengupas akar persoalannya, dan mengeksplorasi solusi teologis yang ditawarkan oleh narasi Alkitab.
Dalam Alkitab, buruh adalah orang yang bekerja untuk memperoleh upah, berbeda dari budak yang dipaksa bekerja tanpa kompensasi dan bahkan dianggap sebagai properti. Buruh memiliki hak atas hasil kerja mereka, sedangkan budak tidak memiliki hak apapun atas dirinya sendiri. Pada masa Perjanjian Lama, kedua kelompok ini sudah ada. Namun, pada awal penciptaan sebagaimana digambarkan dalam kisah Kain dan Habel, semua orang bekerja atas dasar kepemilikan sumber daya sendiri. Tidak ada buruh atau budak, karena setiap orang diberi bagian yang sama. Konsep ini berlanjut saat Israel memasuki tanah Kanaan, di mana tanah dibagikan rata berdasarkan suku dan keluarga.
Ketidaksetaraan mulai muncul akibat berbagai factor seperti, bencana alam (seperti kelaparan), kegagalan dalam mengelola sumber daya, kemalasan, atau ketidakmampuan. Akibatnya, sebagian orang kehilangan kepemilikan mereka, sementara yang lain mengumpulkan lebih banyak kekayaan. Ketidaksetaraan inilah yang memunculkan kebutuhan akan sistem kerja buruh, di mana sebagian orang terpaksa bekerja untuk orang lain demi bertahan hidup.
Yakobus 5:4 dan Ketidakadilan terhadap Buruh
“Sesungguhnya, upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu, berteriak terhadap kamu, dan keluhan mereka yang menyabit panenmu sampai ke telinga Tuhan Semesta Alam.” (Yakobus 5:4 TB2)
Yakobus berbicara keras terhadap praktik penahanan upah buruh, praktik yang mengakibatkan kesengsaraan bagi para pekerja harian yang hidup dari upah hari demi hari. Ini bukanlah masalah baru di zaman Yakobus. Dalam banyak kitab nabi pra-pembuangan, seperti Yesaya dan Amos, seruan untuk keadilan sosial telah lama bergema, termasuk kecaman terhadap ketidakadilan ekonomi. Ada dua hal penting dari konteks ini:
- Masalah ketidakadilan buruh sudah berlangsung lama: Yakobus meneruskan seruan para nabi untuk membela orang lemah dan mengecam penindasan.
- Posisi teologis Yakobus berpihak kepada buruh: Seperti para nabi sebelumnya, Yakobus berbicara dari dan untuk kaum tertindas, menandakan solidaritas Alkitab terhadap kelas bawah.
Solusi Alkitab: Transformasi Hati dan Paradigma, Bukan Hanya Reformasi Sistem
Yakobus 5 berisi kecaman keras dan ancaman hukuman ilahi terhadap ketidakadilan, tetapi Alkitab lebih lanjut menawarkan solusi yang lebih mendasar, yaitu Transformasi hati. Bukan semata-mata perubahan sistem sosial atau ekonomi, melainkan perubahan paradigma moral individu.
Berbeda dengan solusi yang ditawarkan sejarah seperti komunisme—yang menekankan transformasi sistem melalui revolusi kelas pekerja—Alkitab mengajukan perubahan batin. Dua aspek penting dari transformasi ini diantaranya: Pertama, Spirit Kemurahan dalam Pengupahan (Matius 20:1–16). Dalam perumpamaan tentang pekerja di kebun anggur, Yesus menggambarkan bahwa semua pekerja, meskipun mulai bekerja pada waktu berbeda, menerima upah yang sama. Prinsip yang ditawarkan bukan berdasarkan durasi atau prestasi kerja, melainkan kebutuhan dan kemurahan hati sang pemilik. Hal ini mengajarkan bahwa pemberi kerja seharusnya memandang pekerja bukan hanya berdasarkan produktivitas, melainkan berdasarkan nilai kemanusiaan dan kebutuhan hidup mereka. Prinsip ini bertolak belakang dengan logika upah modern berbasis meritokrasi.
Kedua, Spirit Persaudaraan antara Pekerja dan Pemberi Kerja (1 Timotius 6:1–2). Paulus mengusulkan adanya transformasi paradigma, ia menasihatkan agar hubungan antara tuan dan hamba dalam konteks Kekristenan diubah dari hubungan dominasi menjadi hubungan persaudaraan. Pekerja dan pemberi kerja bukan lagi diposisikan dalam relasi kuasa dan subordinasi, melainkan dalam relasi hormat dan kasih sebagai sesama saudara seiman. Hal ini menuntut transformasi mental dan sosial: dari relasi transaksional menuju relasi personal dan spiritual.
Realitas dunia kerja modern, baik di lingkungan pabrik maupun perkantoran, masih menyisakan tantangan besar terkait keadilan bagi para pekerja dan buruh. Meskipun kasus penahanan upah jarang terjadi, isu mengenai upah layak, perlakuan adil, dan keseimbangan antara kerja dan hidup pribadi (work-life balance) tetap menjadi pergumulan global yang belum terselesaikan.
Bagaimana menerapkan prinsip keadilan bagi buruh menurut ajaran Alkitab dalam dunia kerja masa kini?