Alicia Chandradewi: Hidup adalah Belajar

Alicia Chandradewi: Hidup adalah Belajar

 

Tiga puluh tiga tahun bukan masa yang singkat. Sepanjang itulah, tepatnya 33 tahun 7 bulan, seorang Alicia Chandradewi melayani dan berkarya di Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Padahal niatnya masuk LAI semula hanya coba-coba sembari menyelesaikan kuliahnya. Suatu hari seorang teman gereja memberikan informasi bahwa LAI membuka lowongan untuk posisi korektor naskah. “Waktu itu saya belum mengenal LAI dan pelayanannya,”ujarnya. 

Setelah lulus tes penerimaan, pada 1 April 1987 Alicia mulai berkarya sebagai korektor naskah di Departemen Penerjemahan LAI, di Jalan Ahmad Yani, No. 90, Bogor. Pekerjaannya sehari-hari adalah melakukan koreksi naskah Alkitab, baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa=bahasa daerah. Pekerjaannya sebagai korektor naskah jauh dari latar belakang pendidikannya sebagai lulusan Teknik Informatika. Namun, Alicia tidak menyerah, meskipun boleh dikatakan pekerjaannya tidak mudah. Karena kualitas naskah terbitan juga tergantung dari ketelitian para korektor naskah dalam melakukan koreksi. Dalam setiap naskah terbitan LAI, tergambar jerih lelah ketelitian orang-orang yang berkarya di balik layar, salah satunya korektor naskah. 

Bagi Alicia, ada tiga prinsip yang senantiasa dipegang setiap menjalankan karya pelayanan. Pertama, jika ingin berhasil harus ada keinginan belajar lebih, artinya lebih banyak, lebih keras dan lebih gigih. Termasuk dalam hal ini adalah suka belajar hal-hal yang baru. 

Kedua, jangan malu bertanya. Pada masa-masa awal karirnya di LAI, hampir setiap hari Alicia selalu memiliki daftar pertanyaan seputar pekerjaan yang diajukannya, baik kepada para senior maupun atasannya di LAI. Hal tersebut dilakukannya agar dapat segera beradaptasi dan menguasai bidang pekerjaannya. “Karena hampir setiap hal saya kritisi dan saya tanyakan,  bahkan senior saya di kantor tak jarang sampai menyerah karena tidak mampu menjawab,”kenangnya sambil tertawa. 

Menurut Alicia dengan membiasakan diri bertanya, kita akan lebih memahami pekerjaan kita dan memampukan kita untuk tidak bekerja secara biasa-biasa saja. “Kita semestinya menanamkan dalam diri kita keberanian untuk mengambil inisiatif dan semangat berinovasi,”terangnya. 

Ketiga, seorang karyawan harus selalu siap menerima segala tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh atasannya. Meskipun, mungkin saja tugas tersebut dirasa sulit dan jauh dari latar belakang keilmuan yang dimiliki. 

“Kita tidak perlu terlalu khawatir, namanya kita bekerja, harus selalu siap menerima tanggung jawab baru. Karena tanggung jawab yang baru artinya kesempatan untuk belajar hal-hal yang baru,”demikian katanya. “Jangan buru-buru mengatakan tidak mampu. Dalam segala hal kita harus berani untuk mencoba.”

Apa yang Membuat Bertahan Lebih dari 33 tahun?

Lembaga Alkitab Indonesia jelas termasuk yayasan nirlaba. Pandangan umum pasti akan menganggap karyawan yayasan bergaji kecil dan cenderung pas-pasan. Apa yang membuat Alicia bahagia dan mampu bertahan melayani di LAI sedemikian lama?

“Alasan dasar yang pertama dan yang terutama adalah pelayanan!” tegasnya singkat. Dalam bekerja ada nilai=nilai dasar yang senantiasa dipegang oleh Alicia. Pertama, bekerja adalah sebuah pengabdian. “Bagi saya bekerja adalah pengabdian. Tidak pernah saya bekerja dengan tujuan utama untuk memperoleh sesuatu,”terangnya. “Kita memberikan segenap hidup kita yang terbaik untuk Tuhan, nanti berkat akan datang sendiri dari Tuhan,”lanjutnya.  

Ini juga yang senantiasa ditekankan Alicia kepada anak buahnya di LAI. “Jangan tanyakan apa yang akan kita dapatkan saat bekerja di LAI, tetapi bekerjalah dengan sungguh-sungguh untuk Tuhan, dengan begitu berkat Tuhan akan mengalir dalam kehidupan kita.”

Semangat melayani dalam dirinya tidak muncul begitu saja. Sedari kecil orang tuanya telah mendidik dan dan memberikan teladan pelayanan kristiani kepada Alicia. “Ibu saya memang sudah biasa terlibat dalam pelayanan dari sejak saya masih kecil,  ketika kami berjemaat di GSJA di Bandung. Selanjutnya di GSJA Kebon Kosong, Jakarta dan setelahnya di Bogor, kehidupan ibu saya boleh dikatakan tidak pernah lepas dari pelayanan gereja,”terangnya. 

“Yang kedua, saya menyukai pekerjaan-pekerjaan yang saya lakukan di LAI,”katanya.”Meskipun seringkali pekerjaan-pekerjaan tersebut menuntut ketekunan dan kerja keras di atas rata-rata. Pernah untuk penyelesaian proyek penerjemahan Alkitab Sunda, kami dikejar deadline penerbitan. Maka, tidak cukup waktu di kantor, sesampai saya di rumah saya masih harus berjuang menyelesaikan pekerjaan tersebut. Demikian saya mengerjakannya berbulan-bulan tanpa lembur.” 

Menurut Alicia, seorang pelayan sudah semestinya belajar menikmati pekerjaannya. Dengan belajar menikmati pekerjaan kita, akan memampukan kita cepat beradaptasi dengan pekerjaan-pekerjaan yang baru. “Dengan mencintai pekerjaan, kita terdorong untuk memberikan totalitas diri kita bagi pelayanan,”katanya.

Tentang totalitas, kita boleh kagum dengan ketekunan Ibu Alicia. Sebagai karyawan dan sekaligus seorang istri dan ibu rumah ia mesti membagi waktu antara karya pelayanan di LAI dengan tanggung jawabnya di tengah keluarga. “Bagi kita yang berkarya di LAI, sudah biasa untuk membawa pekerjaan pulang ke rumah, apalagi jika deadline penerbitan sudah di depan mata,”katanya. “Suami saya sempat bercanda bahwa suami pertama saya sesungguhnya adalah laptop saya.”

“Sebagai seorang ibu rumah tangga, saya sering harus mengurangi waktu tidur saya agar semua pekerjaan berjalan dengan baik,”terangnya. “Setiap hari, dari pagi sampai petang saya bekerja di LAI, sampai di rumah saya melakukan segala pekerjaan rumah tangga, termasuk yang utama anak-anak saya belajar. Ketika pekerjaan rumah sudah beres dan semua sudah tidur, dari mulai pukul sebelas malam saya kembali membuka laptop dan berjuang merampungkan pekerjaan,”lanjutnya. Saking asyiknya bekerja tak jarang Ibu Alicia tak sadar hari sudah menjelang pagi. Meski demikian begitu tiba di kantor, Bu Alicia jarang menimbulkan wajah kelelahan. Yang selalu terlihat adalah wajah ceria dan penuh semangat. “Kuncinya yang pertama mungkin adalah bersyukur. Dengan bersyukur kita bisa menerima dan menjalani setiap tanggung jawab dengan ikhlas. Yang kedua adalah cinta, baik kecintaan kepada keluarga maupun kecintaan kepada pelayanan,”tuturnya. 

Bagi Alicia hidup adalah belajar dan terus belajar. Pendidikan formalnya teknik informatika. Pekerjaan pertamanya di LAI, korektor naskah pada Departemen Penerjemahan LAI. Tiap hari yang dilakukan membaca dan melihat teks draf naskah terbitan dengan teliti. “Orang yang tidak memiliki kecintaan dengan pekerjaan tersebut hampir pasti akan bosan,”terangnya sambil tertawa. “Karena yang dikerjakan setiap harinya pekerjaan yang sama, bacaannya Kitab Kejadian sampai Wahyu, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa daerah,”lanjutnya. Hanya sebulan menjalani masa percobaan sebagai korektor naskah, tanggung jawabnya meningkat menjadi seorang copy editor

Selanjutnya beliau dipercaya sebagai menjadi staf administrasi masih di departemen yang sama. Dua pekerjaan pertamanya di LAI jauh dari latar belakang pendidikannya.  Sebagai staf administrasi Alicia juga mesti mempelajari berbagai hal yang baru. 

“Pada zaman itu belum ada Microsoft Office, kita masih menggunakan software pengetikan Word Star dan untuk input data menggunakan Lotus,”kenangnya. ”Saya membeli berbagai buku yang berhubungan dengan pekerjaan baru saya dan selanjutnya saya mempelajarinya,”kenangnya.  

Dari staf administrasi, Alicia dipercaya sebagai Kepala Bagian Naskah. Jabatan ini juga membuatnya harus belajar berbagai hal yang baru. “Jabatan ini mensyaratkan kemampuan manajerial, karena itu saya melengkapi diri saya dengan membeli berbagai buku-buku manajemen.”

Belajar Memimpin

Setelahnya selama puluhan tahun berkarya Ibu Alicia terus menjelajah berbagai pekerjaan, mulai dari Kepala Departemen Penerjemahan, Kepala Unit Persiapan Produksi Cetak (PPC), dan terakhir menjabat Kepala Departemen Perencanaan dan Pengendalian LAI. Total ada delapan jabatan yang pernah diemban dan dijalaninya. Di berbagai jabatan tersebut ia belajar hal-hal yang baru dan bahkan terus belajar hingga karya pelayanan pelayanannya Ibu Alice di LAI selesai. 

Agaknya, bagi Ibu Alicia keinginan untuk terus belajar sudah menjadi gaya hidup yang melekat dengan dirinya. Termasuk tentu saja belajar memimpin manusia dengan beragam latar belakang dan karakternya. Bagaimana cara beliau belajar memimpin anak buah?

“Yang pertama, kita belajar dari atasan-atasan atau senior kita. Sepanjang saya di LAI saya telah melihat beragam sosok atasan. Ada sosok atasan yang kebapakan, penuh kehangatan, ramah namun kurang tegas. Sebaliknya, ada pula yang demikian kaku dan disiplinnya seperti pemimpin militer,”terangnya.  Semua pengalaman itu diendapkannya dan dijadikan bahan pembelajaran ketika menjadi pemimpin. 

“Yang kedua tentu saja kita dapat belajar dari berbagai buku tentang kepemimpinan, saya banyak belajar dari berbagai buku kepemimpinan dan manajemen dari John Maxwell”katanya. “Ada dua hal yang membuat saya demikian terkesan. Pertama, hormatilah karyawan yang lebih senior, karena mereka jauh lebih berpengalaman dari kita,” jelasnya. “Yang kedua, menurut John Maxwell di setiap organisasi selalu ada sosok yang berlawanan arus, atau sosok yang paling berpengaruh. Dekatilah mereka agar mau sejalan dengan kita. Dengan memegang kendali atas orang-orang yang berpengaruh dalam organisasi, kepemimpinan kita pasti akan berjalan dengan baik.”

”Yang terakhir, kemampuan kepemimpinan kita akan semakin terasah melalui berbagai pelatihan-pelatihan kepemimpinan, team work dan manajemen yang diadakan oleh lembaga.”

Kenangan berharga di LAI

Bagi Ibu Alicia ada dua pelajaran yang paling berharga selama beliau menjalani karya pelayanan di LAI. Pelajaran pertama adalah mengenal dan menghormati berbagai keragaman. “Saya dari kecil berlatar belakang Pantekosta, dididik dengan cara Pantekosta, tak lama setelah masuk LAI saya berjumpa dengan orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang. Saya menjadi sadar ternyata ada banyak aliran di dalam kekristenan, ada gereja Protestan, ada gereja Katolik dan sebagainya. Sejak itulah saya belajar memahami dan menghargai keragaman aliran-aliran gereja,”katanya. 

Yang kedua, suasana kekeluargaan. Suasana kekeluargaan di LAI menjadikan karyawan betah dan bertahan melayani di LAI hingga pensiun. “Saya bersyukur bisa merasakan bagaimana sesama karyawan di LAI berusaha saling mendukung satu sama lain, baik dalam pekerjaan maupun pergumulan hidup,”ujarnya. Menurut Ibu Alicia suasana kekeluargaan dan keragaman dalam keluarga besar LAI perlu terus dijaga dan dikembangkan. 

Masih Terus Belajar

Selepas pensiun dari LAI, Ibu Alicia sudah mempersiapkan diri untuk belajar hal baru, yaitu mencoba berwirausaha. “Suami saya orang Bangka, kami mencoba menyalurkan dan menyediakan berbagai makanan khas dari Bangka,”katanya. Untuk lebih memantapkan persiapannya membuka usaha, Ibu Alicia belakangan belajar banyak hal tentang e-commerce, tentang dunia digital, dan sebagainya. Sumbernya hanya dari internet. 

Di luar mempelajari dunia wirausaha dan pemasaran digital, Bu Alice kini memiliki banyak waktu lebih untuk pelayanan di gerejanya, Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) Betlehem, di Bogor. Dahulu karya dan pelayan di LAI, juga perannya sebagai ibu rumah tangga cukup membatasi kesempatannya terlibat dalam pelayanan gereja. Sekarang kesempatan itu terbuka cukup lebar. 

Tidak mau kalah dengan angkatan yang jauh lebih muda, beliau bahkan merencanakan untuk berkuliah lagi. Sungguh luar biasa. Demikianlah bagi Ibu Alicia, belajar tidak mengenal  usia dan kata usai. Mempelajari berbagai hal baru, malah membuat beliau lebih bersemangat dan awet muda. 

Menjadi benarlah pernyataan penulis Kitab Mazmur,” Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.” (Mazmur 1:1-3). Ibu Alicia bagaikan pohon yang ditanam di tepi aliran air. Iman dan  semangat pelayanan sudah ditanamkan oleh mamanya sedari kecil. Keduanya terus bertumbuh hingga dewasa bahkan sampai usia senja. Kini, buah demi buah pelayanan terus dihasilkannya. Apa saja yang diperbuatnya berhasil.