Amir Syarifuddin:

Amir Syarifuddin: "Seorang Kristen yang baik dapatlah juga sekaligus menjadi seorang nasionalis yang baik"

 

Amir Syarifuddin merupakan salah satu tokoh penting dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ia berperan penting dalam mempersiapkan Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda. Sebagai pemuda ia aktif dalam pergerakan menentang penjajahan dan antifasisme. 

Amir lahir di Medan 27  Mei 1907. Sebenarnya  ia memiliki gelar bangsawan Angkola, Sutan Gunung Soaloon Harahap. Namun, dalam kesehariannya dia lebih menyukai dipanggil dengan nama Amir Syarifuddin saja. Kakek dan ayah Amir adalah seorang jaksa terkenal di Medan.  Nantinya, Amir juga berperan penting dalam terwujudnya kemerdekaan. Dalam masa revolusi kemerdekaan Indonesia, ia pernah dipercaya sebagai Menteri Penerangan, kemudian Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri Republik Indonesia. Siapa yang pernah menyangka kalau dia akhirnya harus meninggal dihukum mati tanpa melalui proses pengadilan karena dituduh terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948. 

Keluarga besar Harahap dari Pasar Matanggor, Padang Lawas.

Medan pada tahun-tahun kelahiran Amir adalah kota perantau yang banyak disinggahi oleh berbagai suku bangsa. Belanda yang menguasai dan membuka lahan perkebunan tembakau membutuhkan banyak tenaga kerja untuk diberdayakan buruh taninya. Mulai dari petingginya yang tentu saja orang Belanda dan juga orang-orang Cina, orang India, orang Jawa, dan tentu saja orang Batak terpikat untuk mencari kehidupan di Medan. 

Kakeknya bernama Ephraim Harahap dan bergelar Sutan Gunung Tua adalah seorang bangsawan Batak Angkola yang berasal dari Pasar Matanggor, Padang Lawas. Pendidikannya diperoleh dari sekolah-sekolah zending yang dibuka oleh Nommensen di Sipirok. Pendidikan di sekolah zending menjadi awal perjumpaan kakeknya dengan iman Kristen yang kemudian memberi dirinya untuk dibaptis.  Kakeknya mempunyai anak Baginda Soripada Harahap dan menikah dengan Basunu Siregar.  Salah satu anaknya yang lain adalah Mangaraja Hamonangan yang merupakan ayah dari Prof Dr. Todung Sutan Gunung Mulia Harahap yang pernah menjabat Menteri Pendidikan. Baik Ephraim Harahap maupun Baginda Soripada sama-sama bekerja sebagai jaksa. Baginda Soripada pada akhirnya memilih jalan berbeda dengan ayahnya karena memeluk Islam setelah menikah dengan Basunu Siregar. Saat ditempatkan di kota Medan lahirlah Amir Syarifuddin sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara. Ibundanya mendidik mereka sebagai seorang Muslim yang taat.

Sebagai seorang anak jaksa sangat mudah bagi Amir untuk menikmati pendidikan yang baik di masa itu. Ayahnya tahu benar bahwa dengan pendidikan yang baik, kelak anak-anaknya bisa menjadi memiliki pengetahuan, ketrampilan untuk hidup yang mandiri dan akhlak yang mulia. Pendidikan dasarnya dimulai di Europeesche Lagere School (ELS) di Medan pada tahun 1915. Di usii 10 tahun dia berpindah sekolah ke ELS Sibolga mengikuti kepindahan ayahnya yang ditempatkan di Sibolga.  Amir mampu mengikuti sekolah dasarnya dengan baik dan termasuk siswa yang menonjol di antara teman-temannya walaupun bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda.

Menjadi Poliglot dan berbakat dalam berorganisasi.

Pada tahun 1921 Amir berhasil menyelesaikan pendidikan dasarnya. Amir kemudian dikirim ayahnya untuk melanjutkan pendidikan di negeri Belanda. Selain karena sudah fasih berbahasa Belanda, tidak lain karena sepupunya, Sutan Gunung Mulia, juga sedang menimba ilmu di Belanda. Amir kemudian melanjutkan sekolah menengah atasnya di Stedelijk Gymnasium yang merupakan sekolah bahasa terkemuka di Belanda. Di sana selain makin fasih berbahasa Belanda Amir juga mampu bertutur dan menulis dengan gramatika sempurna dalam bahasa Inggris, Prancis, Latin dan Yunani. Guru-gurunya sampai heran bagaimana mungkin seorang dari negara jajahan bisa menguasai dengan baik bahasa-bahasa asing. Berbekal bahasa Yunani dan Latin yang mumpuni Amir juga melahap Alkitab dalam bahasa aslinya. Sebagai Muslim dia membuka diri terhadap semua pengetahuan termasuk Alkitab.  Amir juga menyukai kesusastraan Barat karya William Shakespeare dan Moliére masing-masing dalam bahasa aslinya. Selain bahasa Amir juga berbakat dalam berorganisasi. Dia masuk ke dalam Perhimpunan Indonesia pimpinan Mohammad Hatta. Sebagai orang yang aktif dalam organisasi bacaannya pun tidak main-main, dia terpikat dengan ajaran Mahatma Gandhi dan Dr. Sun Yat-Sen yang sama-sama mengajarkan tentang kebangkitan nasionalisme yang bisa dilakukan tanpa kekerasan ataupun malah membenci bangsa lain. Penggabungan antara ajaran Yesus di Perjanjian Baru yang selalu membela kaum minoritas, seperti: pelacur dan pemungut cukai lalu kemudian nasionalisme tanpa kekerasan dan membenci bangsa lain menjadi dasar pemikiran Amir untuk melanjutkan perjuangannya mencapai Indonesia merdeka.

Sumpah Pemuda dan menjadi Pengikut Yesus

Usianya 20 tahun saat Amir mendaftar masuk Retchshoogeschool (RHS) yakni Sekolah Tinggi Hukum Batavia dengan bantuan dukungan dana dari Pemerintahan Belanda. RHS ini nantinya merupakan cikal bakal berdirinya Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Awalnya Amir tinggal bersama sepupunya, Todung Sutan Gunung Mulia, yang saat itu sudah menjadi kepala sekolah dan anggota Volksraad (dewan rakyat), tak lama dia pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106.. Asrama ini sering dikunjungi oleh misionaris Eropa baik dari kaum Jesuit maupun dari kaum Protestan. Pergaulannya bersama kedua misionaris yang sering datang ini turut berkontribusi dalam cara berpikir Amir sehingga semakin matang pertumbuhannya.

Amir hanya butuh satu tahun untuk bisa masuk terlibat dalam panitia Kongres Pemuda di tahun 1928 dan ikut mendeklarasikan Sumpah Pemuda yang merupakan tonggak sejarah yang penting bagi kelahiran Indonesia. Peristiwa penting dan terbilang menakjubkan karena pada masa itu belum ada media sosial tapi anak muda dari berbagai suku, agama, ras dan aliran politik bisa berkumpul bersama, meleburkan ide dan cita-cita, dan berikrar: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa: Indonesia.

Di Sekolah Tinggi Hukum Batavia Amir diajar langsung oleh Julius Schepper, guru besar hukum pidana dan keduanya langsung cocok sebagai lawan bicara baik dalam bidang hukum maupun juga tentang keagamaan. Schepper yang humanis dilihat Amir sebagai orang yang sungguh-sungguh mengamalkan ajaran Kristus dengan baik. Schepper juga selalu peduli dengan masyarakat yang sering mengalami diskriminasi pada masa penjajahan Belanda. Lewat Schepper juga Amir selanjutnya mendalami ajaran Kristen. Ia mulai membaca buku-buku teologi berat karya Rudolf Oto, Hanns Lilje dan Karl Bath. Amir juga berkorespondensi dengan Toyohiko Kagawa, tokoh Kristen dari Jepang. Dia selalu mengagumi pemikiran gerakan sosial yang dinyatakan oleh Kagawa. Menurutnya gerakan sosial apa pun haruslah pertama-tama dan terutama bermoral dan siap berkorban. Ia harus memperlakukan si kaya dan si misikin secara sama Rekonstruksi sosial haruslah dipusatkan pada Kristus. 

Aktivitasnya di asrama dan teladan Kagawa memperkuat pilihan Amir untuk mengikut teladan Yesus dan mantap mengikuti katekisasi yang dibimbing langsung oleh Schepper. Pada usia ke-24 Amir dibaptis oleh Pdt. Peter Tambunan di HKBP Kernolong. Setahun kemudian Amir mendapatkan gelar sarjana hukumnya namun karena tulisannya yang provokatif terhadap pemerintahan Belanda dia harus masuk penjara selama 18 bulan di Salemba dan kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin Bandung. Lepas dari penjara pada tahun 1935 dia menikahi Djaenah yang kemudian dibaptis juga di HKBP Kernolong. Pasangan ini memiliki enam anak. Salah satu memori yang diingat oleh anak-anaknya akan sosok Amir adalah Amir tidak pernah lupa dengan ulang tahun anak-anaknya dan selalu perhatian terhadap tumbuh kembang anak-anaknya. 

Setelah menjadi Kristen, hampir tiap hari Minggu Amir turut berkhotbah. Khotbahnya selalu menyentuh, dan meneguhkan banyak orang. Penggaliannya terhadap Injil sangat mendalam dan berbobot. Dalam menempatkan diri sebagai orang Kristen di dalam perjuangan kemerdekaan, Amir memiliki prinsip yang kritis. Amir menempatkan kontekstualisasi kekristenan di Indonesia sebagai bagian perjuangan dan menyatakan, "seorang Kristen yang baik dapatlah juga sekaligus menjadi seorang nasionalis yang baik", tegas Amir yang menilai keagamaan dan kebangsaan harus menjadi satu keutuhan yang beriringan.

 

Pra dan Paska Kemerdekaan Indonesia

Pendudukan Jepang di tahun 1942 ditentang oleh Amir dengan membuat tulisan-tulisan di berbagai media massa. Jepang yang membaca kemudian tersulut emosi lalu menjebloskan Amir ke dalam penjara untuk kemudian dihukum mati. Berkat campur tangan Soekarno, Jepang membatalkan hukuman mati dan menggantinya dengan penjara seumur hidup. “Untuk dapat membuat pernyataan seperti itu, sungguh‐ sungguh diperlukan hati yang kuat. Akan tetapi untuk dapat memandangi keadaan Amir Syarifuddin ketika Jepang mengeluarkannya, memerlukan kekuatan hati yang lebih besar lagi. Badannya kurus seperti lidi. Orang tidak dapat percaya, bahwa seseorang masih sanggup menahankan penderitaan seperti itu dan masih mungkin keluar daIam keadaan bernyawa,” ungkap Bung Karno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, di bawah kepemimpinan Soekarno, Amir dipercaya menjadi Menteri Penerangan, kemudian Menteri Pertahanan dan terakhir menjadi Perdana Menteri. Gayanya khas tidak bermewah-mewah. Saat menghadiri sidang dia menempuh perjalanan dengan sepeda kesayangannya dan bercelana pendek. Dia selalu penuh semangat di setiap kesempatan. Indonesia yang baru saja merdeka masih belum begitu kompak menjalani roda pemerintahan yang baru ditambah kembalinya Belanda yang ingin menguasai Indonesia. Indonesia membutuhkan pengakuan dari negara-negara besar seperti Amerika atau Rusia bahwa sudah ada pemerintahan resmi yang sudah berdiri dan berdaulat. Diplomasi demi diplomasi dijalankan oleh Amir sampai satu keputusan dia berhasil meyakinkan Rusia untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Hubungan diplomatik antara Rusia dan Indonesia kembali memuluskan juga masuknya komunis yang dibawa oleh Muso. Amir yang merasa ditinggalkan oleh kawan-kawannya dahulu dan merasa dilengserkan dari perdana menteri akhirnya ikut bergabung dengan Partai yang dipimpin oleh Muso. Gereja-gereja di Indonesia pun menyesalkan keputusan Amir yang masuk ke dalam partai yang dipimpin oleh Muso. “Saya menilai di dalam komunisme pun terdapat kebenaran, namun saya tetap Kristen,” terang Amir saat itu. Kerusuhan pecah di Madiun, Amir terseret dan dituduh ikut ambil bagian. Dia menjadi pesakitan dan akhirnya tertangkap dan tanpa proses hukum dieksekusi pada bulan Desember 1948. 

Sumbangsih Amir dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tertutup rapat pada masa pemerintahan setelah Sukarno. Semasa hidup waktu tinggal di Yogyakarta bersama anak-anaknya Amir sering bernyanyi dengan iringan piano. Lagu kesukaannya adalah “Ise do ale alenta” atau dalam bahasa Indonesianya, “Yesus Kawan Yang Sejati”. Amir menaruh percaya kepada Yesus kawannya yang sejati, di tengah kesendiriaannya tidak ada yang membela dan kawan-kawan mengacuhkannya, Amir memasrahkan diri kepada Yesus kawan yang baka.(perlando)

Kepustakaan

Revolusi Memakan Anak Sendiri: Tragedi Amir Sjarifuddin oleh Abu Hanifah, dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah. Redaksi: Taufik Abdulah, Aswab Mahasin, Daniel Dhakidae. LP3ES.

5 Penggerak Bangsa yang Terlupa, Nasionalisme Minoritas Kristen. Gerry van Klinken. LKiS

Selamat Mengindonesia. Andar Ismail. BPK Gunung Mulia

Informasi tambahan dari Tetty Tobing-Harahap (putri Amir Syarifuddin)