Bawa Lari Sepatu

Bawa Lari Sepatu

Oleh: Sigit Triyono

"Aman Bang. Sepatu tak akan dibawa lari," kata seorang hamba Tuhan kepada hamba Tuhan lain yang dia panggil Abang, saat kembali dari depan kedai "Awai" di kota Pematangsiantar.

Siang itu, pertengahan September 2022, saya dalam perjalanan kembali dari pelayanan di Parapat menuju Medan dan mampir untuk makan siang di kota Pematangsiantar, yang terkenal dengan mie pangsit maknyuss dan kopi sadaaap.

Tidak sengaja, sedang asyik saya menikmati mie pangsit bersama Beni Sihotang staf Perwakilan LAI Medan, datang empat orang hamba Tuhan yang salah satunya saya kenal, yaitu: Pdt. Dr. Japarlin Marbun, mantan Ketua Sinode Gereja Bethel Indonesia. 

Saya sapa beliau beserta rombongannya dan kami saling berbagi informasi tentang perjalanan pelayanan kami masing-masing. Kesimpulannya, kami dipertemukan karena selera mie pangsit yang sama. 

Di tengah kami menikmati mie pangsit, kerupuk, dan teh tong panas, datang seseorang menawarkan jasa semir sepatu. Di antara kami ada satu yang menyerahkan sepatunya untuk disemir. Sementara itu, kami meneruskan aktivitas makan kami sambil mengobrol sana-sini. Sekira 10 menit tukang semir datang mengantarkan sepatu yang sudah tampak lebih mengkilap.

Hamba Tuhan yang lain menyerahkan sepatu hitamnya untuk disemir. Seperginya si tukang semir, hamba Tuhan yang baru saja disemir sepatunya mengikuti sampai ke depan kedai. Rupanya dia langsung membayar si tukang semir sambil memastikan agar sepatu yang akan disemir tidak dibawa lari.

Sekembalinya dari depan kedai, dia katakan bahwa sudah dibayar jasa semirnya, dan sudah dipesankan agar tidak buru-buru menyemirnya serta tidak dibawa lari.

"Masalahnya, dia ini mantan tukang semir dan pernah membawa lari sepatu yang disemirnya," kata Pak Japarlin Marbun sambil tertawa. 

"Benar sekali Pak. Sekitar dua puluh tahun yang lalu saya tukang semir sepatu di Medan. Waktu itu orang yang menyemirkan sepatunya saya berikan sandal agar dipakai saat sepatunya saya semir," kata si hamba Tuhan tersebut.

Saya mendengarkan ceriteranya dengan penuh antusias dan penasaran. "Saat itu, sepatu yang saya semir tampak bagus sekali. Saya tidak tahan untuk tidak membawa lari, dan memang akhirnya saya bawa lari," sambungnya sambil tertawa.

Kami yang mendengarnya ikut tertawa, tetapi dengan sedikit rasa getir karena memahami situasi masa lalunya yang tidak mudah.

"Itulah makanya dia perlu diyakinkan kalau sepatunya yang sedang disemir tidak akan dibawa lari," kata Pak Japarlin Marbun.

"Apalagi sepatu saya ini dibeli saat melayani di Malaysia," sambung si hamba Tuhan tersebut dengan semangat.

"Mungkin karena pernah membawa lari sepatu orang, maka Bapak dipanggil menjadi hamba Tuhan sekarang," kata saya setengah bercanda. Dan kami semua tertawa.

Tertawa kami belum selesai, si tukang semir sudah datang mengantarkan sepatu. Dan kami bertambah tertawa. "Amaaaaannnn...," celetuk si hamba Tuhan sambil memakai sepatu yang sudah mengkilap.

Cara Tuhan memanggil seseorang untuk menjadi hamba-Nya memang unik dan bersifat personal. Ada yang melalui jalan lurus: sejak dalam kandungan, sekolah baik-baik, masuk kuliah teologi, lulus dan kemudian menjadi hamba-Nya.

Tidak sedikit yang penuh liku-liku melalui berbagai cara yang tak terduga. Ujungnya bisa sama-sama melayani di ladang Tuhan secara penuh waktu.

Jalan saya tidak melalui "membawa lari sepatu", tapi pernah kehilangan sepatu pada tahun delapan puluhan akhir, saat tertidur di kereta api ekonomi dengan posisi lepas sepatu. Nasiiibbb....

 

(15.09.2022)