KISAH KASIH DI LANTAI DUA

KISAH KASIH DI LANTAI DUA

 

Pernahkah Anda mengunjungi lantai 2 dan 3 Gedung Pusat Alkitab (GPA), yang terletak di jalan Salemba 12 Jakarta Pusat? Setiap hari Sabtu-sebelum masa pandemi-, begitu pintu lift terbuka, sering terdengar suara gelak tawa bersahut-sahutan.  Jangan takut, itu adalah suara tawa kami para volunteer bersama kakak-kakak karyawan Perpustakaan dan Museum LAI LAI. Ini adalah kisah kasih kami, yang saya rasakan hampir 4 tahun…

Berawal dari menjadi pemandu wisata museum dan perpustakaan Lembaga Alkitab Indonesia setiap hari Sabtu, cinta saya terhadap lantai 2, tempat Museum Alkitab berada tumbuh. Saya Putri Manulang, waktu itu saya merupakan mahasiswi teologi semester dua dari Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Jakarta, yang sedang melaksanakan Praktek Lapangan di sebuah Lembaga pemberdayaan perempuan di Jatinegara. 

Menjadi pemandu wisata di Museum dan perpustakaan LAI adalah salah satu momen terbaik dalam masa perkuliahan saya. Hal terbaik juga ketika saya bertemu orang baru setiap minggu dan itu berarti juga mendapat pengalaman baru bersama mereka. Kelompok yang mengunjungi perpustakaan  dan museum LAI berasal dari berbagai kalangan, anak Sekolah Minggu, remaja dan siswa sekolahan, katekisan hingga warga jemaat lansia. Menyenangkan bisa mendampingi kelompok-kelompok pengunjung baru ini walaupun hanya 90-120 menit.

Kelompok kunjungan ini beragam, ada yang datang dalam bentuk kelompok kecil 10-15 orang, sampai datang dalam bentuk kelompok besar 100-150 orang. Jika kunjungan di atas angka 75 orang, biasanya mereka akan dikumpulkan di lantai 10 yang ruangan pertemuannya lebih besar dibanding di ruang pertemuan lantai 2. Mengantri lift dari lantai dasar menuju lantai 2/ 10 menjadi hal biasa. Bagi kelompok yang masih muda kami biasa mengajak mereka untuk menaiki tangga untuk menghemat waktu. 

Banyak percakapan yang bisa lahir dan tercipta dari perjalanan bersama menuju lantai 2 atau 3. Banyak tawa yang bisa terdengar di lorong tangga bersama kelompok kunjungan Museum dan perpustakaan. Banyak kisah yang bisa saya dengar dan kami bertukar cerita selama memandu kelompok di Museum dan perpustakaan LAI. Banyak senyum dan peluk yang bisa ditukar ketika perkunjungan museum ini harus berakhir.

Sampai saat ini, saya masih bisa mengingat wajah penasaran anak-anak hingga orang dewasa yang berkunjung ke Museum LAI. Saya mengingat reaksi terkejut mereka saat melihat dan mendengar hal-hal baru. Saya juga mengingat raut wajah haru anak-anak ketika menonton video pembagian Alkitab ke berbagai daerah. Saya tidak pernah melupakan hangatnya peluk oma-oma dalam setiap akhir kunjungan. Begitu menyenangkan bisa mengenang semua rasa ini. 

Setiap hari Sabtu saya selalu tidak sabar ingin mengetahui tentang kelompok kunjungan saya. Berkeliling dan belajar bersama orang yang baru dikenal tidaklah mudah. Saya perlu menjadi orang yang tricky. Saya perlu melihat dan menimbang, detail mana yang perlu saya kisahkan dan detail mana kepada kelompok mana yang perlu saya lewatkan. Hal ini perlu untuk mengatasi dan mencegah kejenuhan dalam belajar sejarah di Museum LAI. Saya selalu menantikan pertanyaan-pertanyaan unik dari kelompok kunjungan. Saya percaya, berbagai pertanyaan yang muncul dari para pengunjung di museum bisa memupuk iman percaya mereka kepada Allah. Pengetahuan-pengetahuan baru yang didapat dalam perjalanan di museum dan perpustakaan membantu pertumbuhan iman umat kedepannya.

Kecintaan dan rasa ingin tahu menurut saya adalah kesatuan layaknya sisi pada koin. Melalui perjumpaan dengan umat dari berbagai kalangan berbagai denominasi gereja saya mendapatkan kesimpulan ini, semakin mencintai dan mengenal Alkitab, semakin rasa ingin tahu lebih dalam. Menyenangkan sekali belajar bersama umat dalam setiap perkunjungannya, kami belajar bersama. Banyak hal yang saya dapatkan dari umat, dan saya harap umat juga mendapat hal baru dari perkunjungannya.

Menjadi volunteer dalam pelayanan Lembaga Alkitab Indonesia rasanya nano-nano. Semua rasa begitu menyenangkan. Sebagai mahasiswa saya butuh keberanian untuk mengambil resiko menyibukkan diri sebagai volunteer di LAI setiap hari sabtu atau kadang di hari-hari lain. Saya butuh menyediakan waktu dan tenaga saya di tengah pilihan untuk berlibur di akhir pekan sebagai mahasiswa. Semakin mengenal LAI dan pelayanannya, semakin sering bertemu banyak kelompok kunjungan, semakin menghabiskan waktu di LAI, saya semakin sadar, saya membuat pilhan yang tidak akan pernah saya sesali. Menjadi volunteer di Museum LAI.

Menjadi volunteer di Lembaga besar sebelumnya menakutkan bagi saya, apalagi di Museum. Saya sudah membayangkan senioritas yang kejam. Beruntungnya saya, itu tidak terjadi. Saya bertemu kakak-kakak karyawan LAI yang begitu menyenangkan kepribadiannya.

Hampir empat  tahun lamanya saya menjadi volunteer tidak dipungkiri saya kadang merasa lelah setelah Senin-Jumat menjalani kepadatan kuliah, Sabtu pagi hingga sore saya harus menemani kelompok kunjungan. Bersama kakak-kakak karyawan lantai 2 LAI, saya tidak perlu menutupi kelelahan saya. Saya dan volunteer lain selalu terbuka akan keterbatasan kami sebagai mahasiswa, misalnya lelah dan tugas kampus yang mengantuk. Kakak-kakak karyawan LAI bersama kami kadang duduk bersama di sofa, saling memberi bahu satu sama lain. Ketika tugas menumpuk, kami tidak dilarang untuk mengerjakan tugas di tengah waktu luang kami. Lihatlah, bagaimana museum dan perpustakaan LAI begitu menyenangkan untuk saya dan kami semua.

Ada banyak candaan yang bisa kami ucapkan, ketika orang lain keluar dari lift lantai dua, mungkin mereka akan mendengar tawa yang kadang terlalu kencang. Tawa yang membuat kami para volunteer tidak pernah menyadari waktunya pulang. Bau makanan yang selalu ada, karena kebetulan saya dan kakak-kakak karyawan LAI senang makan. Oiya, Sabtu adalah waktunya saya sebagai anak kost makan menu favorit, Nasi Padang bersama kakak-kakak LAI! Hahahaa….

Saya tidak pernah menganggap kakak-kakak karyawan LAI lantai 2 sebagai atasan saya, atau sebagai orang yang mempekerjakan saya. Mereka saya anggap sebagai kakak. Empat tahun menjadi volunteer, kakak-kakak ini menunjukkan kepada saya tentang pelayanan yang profesional tanpa mengurangi sedikitpun makna pelayanan. 

Bersama karyawan LAI saya memahami arti tulus dan berkorban. Kunjungan yang datang di akhir pekan, sudah sangat jelas membuat kakak-kakak karyawan harus mengorbankan waktu akhir pekan mereka bersama keluarga dan orang-orang terkasih mereka. Belum lagi jika kunjungan hari Sabtu adalah tamu dari luar kota, yang terkadang datang terlambat dari waktu yang dijadwalkan. Kakak-kakak ini harus rela pulang lebih larut dari biasanya. Namun walaupun terkadang pulang terlambat, selama empat tahun ini saya selalu melihat senyum tulus di pintu keluar Gedung LAI dari kakak-kakak ini. 

Waktu pertama kalinya saya ditawari menjadi pemandu museum, alasan saya bersedia menjadi volunteer di akhir pekan adalah mendapat penghasilan tambahan. Namun lebih dari itu, ternyata yang saya dapatkan akhirnya adalah hal yang tak ternilai. Ada banyak pengalaman berharga yang saya dapatkan. Ada banyak cinta yang diberikan kepada saya. Semakin lama saya semakin bertanya, saya begitu banyak mendapatkan dan dilimpahi, lalu apa yang sebenarnya saya berikan? Apakah sebanding? Jawabannya tidak. Yang saya berikan tidak pernah sebanding dengan apa yang saya terima melalui kakak-kakak karyawan LAI dan kelompok kunjungan museum dan perpustakaan LAI.

Semakin saya merasa dicintai semakin banyak yang pengorbanan yang ingin saya berikan. Ada masa dalam hampir 4 tahun menjadi volunteer saya tidak tinggal di kost, namun di Cibubur rumah keluarga saya. Pada Sabtu, saya berani mengambil resiko pagi sekali untuk berangkat ke Salemba 12 untuk menjadi pemandu kunjungan hari itu. Bagi saya, menemani kunjungan jauh berharga dan sangat layak untuk diperjuangkan. Cibubur – Salemba tidak bernilai ketika dibandingkan dengan raut wajah kelompok kunjungan juga tawa bersama kakak-kakak karyawan lantai dua. Saya bahkan rela melakukan perjalanan jauh pagi dan sore, hanya untuk makan Nasi Padang bersama kakak-kakak LAI di taman kecil lantai tiga LAI yang luar biasa cantik! 

Lantai GPA lantai dua dan tiga hingga saat ini masih menjadi “rumah” bagi saya secara pribadi. Sebagai anak kost, ruangan ber-AC, sofa, taman yang cantik di sebelah perpustakaan, ditambah para karyawan LAI yang begitu ramah di dua lantai ini membuat saya merasa betah.

Di sela-sela waktu istirahat atau ketika kelompok pengunjung museum belum tiba, saya dan kakak karyawan bersenda gurau, bercakap tentang banyak hal. Jam makan siang adalah salah satu waktu favorit saya di Lembaga Alkitab Indonesia. Saling bertukar ide mengenai jenis makan siang, saling bercanda untuk membeli makan siang dan banyak melakukan hal konyol bersama. Karyawan tetap Lembaga Alkitab Indonesia terkhusus yang melayani di lantai 2 dan 3 (lokasi tempat Perpustakaan dan Museum LAI) berhasil membuat saya tersihir, bahwa dunia kerja yang dibarengi pelayanan ternyata menyenangkan.

Sampai saat ini tak jarang saya merasa bingung. Di antara banyak mahasiswa teologi yang lebih menarik dan pintar, mengapa saya yang Tuhan pakai dan pilih? Jawabannya, karena Tuhan percaya dan mengasihi saya. Belajar untuk menjadi pemandu wisata atau tourguide museum adalah hal yang sebelumnya tidak mungkin bagi saya, hal yang tidak mampu saya bisa lakukan. Namun ternyata, ketika Tuhan yang memampukan tidak ada hal yang mustahil untuk dilakukan.

Tuhan ternyata memampukan saya dan kelompok pengunjung, untuk saling belajar dan bersama-sama saling memupuk iman dan cinta kepada Allah, melalui tour museum dan perpustakaan LAI.