Mertua dan Menantu Perintis Lembaga Alkitab 

Mertua dan Menantu Perintis Lembaga Alkitab 

 

Pada 9 Februari 2024 Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) genap berusia 70 tahun. Perjalanan panjang Lembaga Alkitab Indonesia tidak lepas dari dukungan puluhan bahkan ribuan awam yang bersedia meluangkan sebagian bahkan sepenuh hidupnya untuk pelayanan penerjemahan dan penyebaran Firman Tuhan. 

Jauh sebelum masa berdirinya LAI, pelayanan penyebaran Alkitab di Indonesia memperoleh dukungan dari banyak orang berlatar belakang non-teolog yang mendarmabaktikan hidupnya untuk pelayanan penyebaran Alkitab. Dua di antara awam tersebut adalah Cohen Stuart dan GP Khouw. Mereka boleh disebut sebagai perintis berdirinya lembaga Alkitab di Indonesia. 

C.P. Cohen Stuart

Dr. Combertus Pieter Cohen Stuart adalah seorang ahli ilmu Biologi, spesialis ilmu penyakit dan epidemi tanaman, yang bekerja di Laboratorium Teh. Meski jabatan Cohen Stuart cukup nyaman dan gajinya besar, panggilan kuat untuk melayani gereja dan umat Kristen terus mengetuk batin Cohen Stuart dan istrinya, Maria Wilhemina Catherine Stuart-Francken. Keduanya memutuskan untuk meninggalkan kursi empuk dan gaji besar. Mereka ingin mengabdikan diri untuk melayani Tuhan. Hanya, mereka belum memahami bagaimana cara melayani Tuhan. Ketika Cohen Stuart dan istrinya cuti ke Belanda antara tahun 1927-1928, mereka mencari informasi tentang peluang untuk melayani Tuhan di gereja-gereja Belanda. 

Sebelum mereka kembali ke Pulau Jawa, suami istri Stuart diperkenalkan dengan pengurus Lembaga Alkitab Inggris (British and Foreign Bible Society-BFBS) di London. Kebetulan waktunya bersamaan dengan upaya Lembaga Alkitab Inggris untuk mengubah organisasi perwakilannya di Asia Tenggara, yang berpusat di Singapura. Keinginan suami istri Stuart untuk melayani diterima oleh Lembaga Alkitab Inggris. 

Lembaga Alkitab tersebut menunjuk Ernst Tipson sebagai pimpinan baru perwakilan di Singapura. Sedangkan Cohen Stuart memilih Kota Malang di Jawa Timur sebagai tempat awal berbakti dan melayani gereja. Lembaga Alkitab Inggris memilih Malang sebagai pusat kegiatan untuk wilayah Jawa Timur karena bisa menjangkau pula kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara, yaitu dari Pulau Bali di sebelah Barat hingga Pulau Timor di ujung timurnya). 

Pelayanan kedua hamba Tuhan itu sangat menggembirakan, selain karena ketulusan bekerja, juga didukung oleh perkembangan yang melanda Eropa, khususnya Belanda. Pada akhir abad ke-19 dan abad ke-20, terdapat banyak mahasiswa Kristen yang bercita-cita memberikan yang terbaik dalam hidupnya untuk gereja. Di Belanda, Persatuan Mahasiswa Kristen  Belanda (NCSV) menjadi anggota Federasi Mahasiswa Kristen Sedunia (WSCF). Sebagian besar mahasiswa mengabdikan diri pada kegiatan gerejani, hingga akhir hayatnya. 

Di Indonesia, pelayanan Cohen Stuart dan Lembaga Alkitab Inggris mengalami perkembangan yang signifikan. Rumah milik Lembaga Alkitab Inggris di Bandung, mulai tahun 1912, disewakan kepada Lectuur Commissie, Komisi Pembacaan Biro Pekerja Zending Hindia Belanda. Ruangan besar yang berada di dalam rumah tersebut, digunakan oleh Lembaga Alkitab Belanda sebagai gudang dan toko. Rumah di Bandung itu terkenal dengan nama Balai Alkitab atau Het Bijbelhuis.

Pada kediaman Cohen Stuart di Malang, dibuka usaha kolportase, yang oleh Lembaga Alkitab Inggris dianggap sangat penting. Ia juga mengangkat tiga orang sebagai tenaga kolportase, yakni Salam Mathias, Kartawikrama, dan Ie Tjin Sin.

Pelayanan Bersama

Selain Cohen Stuart dan Lembaga Alkitab Inggris (BFBS) yang melayani penyebaran Alkitab di Batavia dan sekitarnya, pada waktu yang bersamaan terbentuk panitia yang bertujuan membantu dan mengembangkan pekerjaan pelayanan Lembaga Alkitab Belanda(Nederlands Bijbelgenootschap-NBG) beserta semua cabangnya yang sudah ada. Cohen Stuart pun diminta untuk duduk dalam kepanitiaan yang dibentuk NBG tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa NBG pada dasarnya ingin menjalin kerja sama dengan BFBS dalam pengembangan pelayanannya di Indonesia. Namun disadari pula, kehadiran dua lembaga Alkitab nasional yang bergerak di bidang yang sama, akan muncul masalah-masalah kerja yang tumpang tindih. Selain tumpeng tindih akan menimbulkan ketidakefektifan pelayanan. Apalagi pada saat itu pusat penyediaan Alkitab berada di tiga tempat: Bandung, Malang dan Singapura. Beberapa kalangan berpendapat, untuk efisiensi dan efektivitasnya, kedua lembaga tersebut semestinya terpusat pada satu tempat.  Oleh karena itu, BFBS pada tahun 1936, menyetujui permohonan NBG untuk mengizinkan Cohen Stuart, bukan saja sebagai perwakilan BFBS di Indonesia namun sekaligus mewakili NBG.

Pada tahun 1937 Lembaga Alkitab Inggris mengunjungi rekannya di Belanda. Dari pertemuan ini disetujui pemindahan Cohen Stuart dari Malang ke tempat tugas yang baru di Bandung (Balai Alkitab). Adapun pimpinan sehari-hari tetap dipegang oleh wakil dari Lembaga Alkitab Belanda, yang senantiasa menyampaikan laporannya ke Lembaga Alkitab Inggris di London. Pada 1 Januari 1938, pelayanan kedua lembaga Alkitab (BFBS dan NBG) di Indonesia secara resmi bergabung. 

Setelah beberapa waktu di Bandung, Cohen Stuart pindah dari Jl. Nieuw Merdika ke rumah di Burgemester Kuhrwerg, sekarang Jalan Purnawarman. Di halaman belakang rumah tersebut dibangun gudang yang luas. Setelah melengkapi rumah kediaman baru tersebut, Stuart mengambil cuti selama setahun di Eropa, dari Mei 1938 hingga Juni 1939. Ketika itu masa jabatannya di Lembaga Alkitab Inggris genap tujuh tahun. Wakilnya di Bandung, seorang Kepala HIS, yakini M. Bijleveld. 

Cohen Stuart pulang ke Bandung, pada bulan Juli 1939, hanya dua bulan sebelum pecah Perang Dunia II. Mereka yang melayani di Lembaga Alkitab, mulai tergerak hatinya dan sadar bahwa sudah tiba waktunya untuk menyiapkan pembentukan sebuah lembaga Alkitab nasional yang mandiri, yang berdiri sendiri dan terlepas dari NBG dan BFBS. Langkah-langkah mandiri mesti dilakukan untuk menghadapi kemungkinan andaikata Belanda terlibat perang. Lembaga Alkitab Belanda pun segera mengirimkan berpeti-peti Alkitab dan buku-buku dengan kapal laut.

Ketua Komisi Hindia Belanda NBG menulis dalam majalah Pemberita Firman Allah edisi perdana tahun 1938 demikian,”…bagaimana dan tjaranya hal itoe (pendirian lembaga Alkitab) dapat dilakoekan, inilah soeatoe soal kemudian hari kelak; di dalam segala perkara itoe kita hendak meneroeskan pekerdjaan ini dengan perlahan-lahan. “ Agaknya beliau sendiri merasakan bahwa Perang Dunia II nantinya akan membawa banyak perubahan situasi baik di Belanda maupun di Indonesia. 

Benar saja, keadaan di Eropa menjelang dan selama berlangsungnya Perang Dunia II sungguh memprihatinkan. Puluhan ribu orang ditahan di balik pagar kawat berduri di kamp-kamp konsentrasi Jerman. Dampaknya, BFBS dan perwakilan-perwakilannya, tidak bisa berhubungan dengan staf-staf maupun penghubung-penghubungnya yang menjadi tawanan perang. Selain itu karena perang, hubungan transportasi putus. Satu-satunya cara penyebaran Alkitab dilakukan menggunakan kapal laut. Menghadapi keadaan yang serba darurat tersebut, harus ada langkah nyata untuk menggantikan BFBS dalam melayani umat Kristen. Lembaga Alkitab Amerika (ABS), berupaya tampil menggantikan peran BFBS yang sudah tidak bisa menjalankan tugas-tugas penyebaran Alkitab kepada umat Kristen di Inggris, Eropa maupun di berbagai belahan dunia lainnya. 

Di Indonesia, kondisi kritis akibat pendudukan Jepang atas Pulau Jawa, juga tidak jauh berbeda. Cohen Stuart dan istrinya ditawan Jepang dan dimasukkan ke dalam kamp internir. Di dalam penjara Cohen Stuart mengalami sakit dan kesehatannya menurun. Tak berbeda dengan nasib banyak tawanan perang yang malang, Stuart, yang selama 9 tahun mengabdikan dirinya sebagai pimpinan perwakilan BFBS di Malang dan kemudian Bandung, akhirnya meninggal dunia  di kamp interniran Kramat, Jakarta, pada bulan September 1945. Stuart menghadap Tuhan dengan meninggalkan banyak tugas pelayanan. 

WIM KHOUW

Beruntung, sebelum perang berkecamuk dan tentara Jepang mendarat, Lembaga Alkitab memperoleh sosok mutiara baru dalam diri Giok Pwee Khouw atau lebih dikenal dengan Wim Khouw.  Wim Khouw lahir di Karawang 30 Juli 1911. Pada tahun 1929, ia masuk Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Batavia/Jakarta. Pada masa studinya, ia menjadi anggota gerakan mahasiswa Kristen (CSV op Java) dan karenanya sering hadir berdiskusi dengan para mahasiswa Kristen lain di Jalan Kebon Sirih 33, Jakarta.  Pada tahun 1936, Khouw berangkat sebagai utusan mahasiswa Kristen Hindia-Belanda (nama sebelum Indonesia merdeka) menghadiri Konferensi  Federasi Mahasiswa Kristen se-Dunia (World Student Christian Federation, WSCF) di Berkeley, California. Uniknya meski ia menjadi perwakilan mahasiswa Kristen Hindia Belanda, Wim Khouw belum dibaptis. Baru sepulang dari California G.P. Khouw menerima baptisan. 

Tahun 1939, ia menamatkan studinya di fakultas hukum. Dua tahun kemudian, ia diterima oleh Cohen Stuart sebagai pembantu untuk pekerjaan penyediaan dan penyebaran Alkitab. Selama masa perang (1942-1945), kala Stuart dan istrinya masuk kamp internir, Khouw yang  meneruskan pekerjaan Lembaga Alkitab di Indonesia. Ia mendapat izin mencetak Perjanjan Lama dalam bahasa Melayu dan malah diperbolehkan mencetak Perjanjian Baru dalam bahasa Belanda bagi para penghuni kamp-kamp tawanan. Di samping itu, ia mengirim sisa-sisa persediaan Alkitab dan porsion-porsion Alkitab ke berbagai gereja-gereja di Indonesia. Agar terhindar dari kemungkinan yang tidak diinginkan, buku-buku yang berada di Bandung dititipkan ke gereja-gereja, kemudian diambil lagi sesuai dengan kebutuhan. 

Di akhir tahun 1944, tentara pendudukan Jepang merasa perlu memperluas rumah bordil yang letaknya berdekatan dengan Balai Alkitab di Bandung. Akibatnya, balai tersebut disita. Meskipun demikian, tentara Jepang ikut membantu  memindahkan isi rumah dan gudang ke rumah lain, yang letaknya masih di jalan yang sama. Pada saat memindahkan barang-barang, tentara Jepang menemukan tumpukan buku-buku dan majalah di dalam peti yang lalu dikeluarkan dan dibaca isinya. Wajah para serdadu berubah. Timbul rasa curiga di benak mereka. Setelah membaca Injil Markus kecurigaan mereka makin bertambah. Mereka mengira buku tersebut berisi catatan sandi rencana penyerangan militer Sekutu ke Pulau Marcus, yang saat itu diduduki Jepang dan terletak tak jauh dari Kepulauan Mariana di Samudera Pasifik. 

Keadaan setelah perang masih tetap memprihatinkan. Balai Alkitab di Bandung, masih dipermasalahkan kepemilikannya. Kali ini, balai tersebut dituntut oleh Komandan Militer Belanda. Sesudah itu gugatan juga datang dari Divisi Siliwangi. Itulah sebabnya, Depot Lembaga Alkitab Bandung terpaksa dipindahkan ke rumah zending, Jalan Pasir Kaliki 2, yang terletak di samping Gereja Pasundan. 

Keadaan politik akibat adanya perseteruan Indonesia dan Belanda pun terus mengambang. Hubungan antara Jakarta atau tempat-tempat lain dan pusat lembaga Alkitab di Bandung , sulit dilakukan. Angkutan satu-satunya yang baik dan aman adalah penerbangan. Akibatnya GP Khouw tidak betah menjalankan usaha di Bandung. Ia mengusulkan untuk membuka suatu depot baru di Makassar. Lembaga Alkitab Belanda menerima usul untuk pindah ke Makassar. Khouw bersama istrinya Henriette (Jet) Cohen Stuart Cohen Stuart, yang adalah puteri dari Dr. CP Cohen Stuart, berangkat ke Makassar pada pertengahan tahun 1946. Setelah tiga tahun mengerjakan berbagai program NBG di Indonesia dari Makassar, Khouw berangkat ke Belanda dan melanjutkan lawatan dengan menghadiri konferensi Lembaga Alkitab Sedunia (United Bible Societies) di New York pada tahun 1949. Berakhirlah tugas-tugas GP Khouw untuk Lembaga Alkitab Belanda pada tahapan sebelum dan sesudah perang dunia. 

Pada 9 Februari 1954, Lembaga Alkitab Indonesia secara resmi berdiri ditandai dengan penandatanganan akte pendirian di hadapan notaries Elisa Pondaag di Jakarta. GP Khouw menjadi salah seorang tokoh di balik pendirian tersebut. Khouw yang sudah mengenal Pendeta W.J. Rumambi (Sekum LAI ke-3) ketika bertugas di Makassar, menjabat sebagai Sekretaris Umum LAI yang pertama dan bekerja sama dengan Wim Rumambi (Sekretaris Umum DGI) di Jakarta. Kedua tokoh perintis Lembaga Alkitab itu disebut-sebut sebagai duet Wim yang loyal dan berdedikasi tinggi dalam mengurus pelayanan LAI. 

Aktivitas LAI sebagai lembaga nasional bermula dari sebuah rumah di Jalan Teuku Umar 34, Jakarta. Rumah itu sebenarnya dipersiapkan sebagai rumah tinggal perwakilan Lembaga Alkitab Belanda, GP Khouw dan dibeli dengan harga 7000 poundsterling. Rumah yang sedianya menjadi tempat tinggal Wim Khouw tersebut, difungsikan pula sebagai kantor dan gudang. Maka keadaannya menjadi penuh sesak. Hingga ketika Sekretaris Umum NBG, Baron van Tuyll datang ke Indonesia di tahun 50-an, ia terkejut menyaksikan kantor yang penuh sesak itu. 

GP Khouw senantiasa mengerjakan tugas panggilannya dengan tekun. Ia selalu berusaha mencari terobosan pengembangan LAI. Keretakan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Belanda pada sekitar tahun 1960-an, membuat Wim Khouw menemani isterinya dan mengambil keputusan untuk hijrah kembali ke Belanda. Wim Khouw pun melepaskan kewarganegaraan Indonesia yang dicintainya dan mengikuti kewarganegaraan istrinya, Jet. Hingga keberangkatannya ke Negeri Belanda pada 1964, Khouw masih terus berupaya mendirikan sebuah percetakan Alkitab yang mandiri dan menangani berbagai tugas yang dianggapnya perlu untuk memajukan pelayanan lembaga Alkitab Indonesia. Di Negeri Belanda Khouw masih terus aktif dalam pelayanan lembaga Alkitab. Ia  memegang berbagai fungsi di NBG; antara lain menjabat sekretaris luar negeri NBG. Di Indonesia ia diganti oleh Ph. J. Sigar, mantan sekretaris pribadi wakil perdana menteri J.Leimena. Pada 5 April 1980, Wim Khouw meninggal dunia di Harleem, Belanda pada usia 69 tahun.