Mewujudkan Kedamaian

Mewujudkan Kedamaian

 

Menjadi pemimpin memang gampang-gampang susah. Agaknya  benar pernyataan bahwa tidak setiap orang bisa menjadi pemimpin yang baik. Padahal, dalam kehidupan nyata setiap insan punya kesempatan menjadi pemimpin, setidaknya memimpin dirinya sendiri atau menjadi pemimpin keluarga.

Seorang manajer di dalam perusahaan dianggap berhasil bila mampu mendorong semangat karyawannya mencapai target perusahaan. Sebaliknya, di mata karyawan pemimpin yang berhasil adalah mereka yang mampu meningkatkan kesejahteraan anak buahnya. Pemilik perusahaan menyukai manajer yang tegas dan cepat mengambil keputusan, sementara karyawan berharap atasannya penuh empati, mampu membangun semangat dan bijaksana. 

Di dalam keluarga, seorang kepala rumah tangga dipandang berhasil apabila keluarganya dalam keadaan rukun, bahagia dan sejahtera. Meskipun ukuran cukup dan bahagia menurut setiap orang mungkin berbeda. Namun keluarga yang tercukupi kebutuhan dasarnya dan jauh dari percekcokan pasti harapan setiap orang. 

Menjadi pemimpin negara, tanggung jawabnya lebih berat dan kompleks. Bagi masyarakat Indonesia sekarang ini, keberhasilan kepemimpinan presiden mungkin diukur dari kemampuannya mempercepat pembangunan infrastruktur, menyediakan lapangan kerja baru, mempertahankan nilai rupiah, menahan kenaikan harga bahan pokok agar terjangkau daya beli masyarakat, perbaikan keamanan, pemberantasan korupsi dan mencegah disintegrasi bangsa. 

Ada banyak ukuran yang dipakai untuk menilai keberhasilan seorang pemimpin. Dari beragam tolok ukur itu ternyata ada satu tolok ukur yang berlaku luas dan universal, berlaku di hampir semua tempat dan tingkat kepemimpinan. Tolok ukur itu adalah tercapainya kedamaian. 

Dalam dunia produksi, meningkatkan omzet penjualan memang penting, namun perusahaan sulit mencapai prestasi yang gemilang jika relasi antar karyawan di perusahaan itu tidak harmonis, penuh percecokan. Betapa bahayanya kerja sama di antara karyawan di bagian mesin pabrik jika di antara mereka saling benci dan memusuhi. Demikian juga sulit mencapai target penjualan jika setiap karyawan di bagian tersebut saling bermusuhan dan iri hati. Suasana damai dan nyaman akan membuat karyawan betah bekerja.

Di dalam keluarga, sebesar apapun penghasilan seorang ayah tidak selalu mampu membayar harga kedamaian. Orang seringkali baru menyadari bahwa kedamaian lebih penting dari harta dan segala kekayaan setelah keluarga itu runtuh dan terpecah. Keluarga yang tidak pernah berhenti bercekcok, akan membuat setiap anggota keluarga stress dan kehilangan bahagia. Sementara keluarga yang rukun dan damai meskipun uangnya pas-pasan membuat anggota keluarganya betah di rumah. 

Demikian pula, setiap masyarakat merindukan yang namanya ketenangan dan kedamaian. Pemimpin agama atau pemimpin bangsa yang dihormati adalah mereka yang mampu membawa umatnya hidup damai. Dengan kedamaian sebuah bangsa akan tumbuh dan berkembang dengan baik. 

Maka pemimpin yang berhasil adalah orang yang mampu mewujudkan kedamaian sepanjang masa kepemimpinannya. Sedangkan pemimpin yang merebakkan perselisihan, percekcokan, dendam dan permusuhan, meskipun memiliki reputasi baik dalam mencapai target, sangat sulit diakui sebagai pemimpin yang berhasil. 

Apa artinya pencapaian target penjualan atau perluasan jaringan perusahaan, jika semua terwujud melalui perselisihan, pertikaian, permusuhan, percekcokan dan dendam? Apa artinya keluarga memiliki banyak rumah, uang dan kendaraan, tetapi setiap hari suasana di rumahnya bagaikan “neraka”? Apa enaknya tinggal di rumah megah, namun setiap hari dipenuhi cacian dan makian di antara anggotanya? Apa artinya Indonesia menjadi negara yang maju dan modern namun di antara masyarakatnya penuh dengan perselisihan, kebencian, permusuhan dan prasangka?

Gereja juga demikian. Apa gunanya gedung gereja yang megah, pujian yang membahana jika di antara anggota tubuh Kristus saling berselisih, saling menganggap diri lebih utama dan saling cekcok. Maka tepat sekali pernyataan sang pemazmur: Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun. (Mazmur 133:1). Persekutuan yang rukun, yang damai adalah persekutuan yang baik, yang indah. Yang baunya mewangi seperti minyak urapan yang meleleh dari kepala Imam Besar. Persekutuan yang rukun menjadi teladan dan kebahagiaan semua orang. 

Kedamaian menjadi kata kunci untuk setiap pemimpin bahkan setiap manusia. Kedamaian perlu terus diingat, diperjuangkan  dan dijadikan kekayaan abadi yang dijunjung setiap pemimpin, umat Tuhan bahkan setiap manusia apa pun latar belakangnya. Bahkan pernah dikatakan, seorang pemimpin perang pun perlu segera mengakhiri pertempuran dengan kemenangan untuk mewujukan perdamaian dan kedamaian. 

Seorang psikolog, dr. Limas Sutanto pernah menyatakan demikian, kedamaian meskipun dambaan setiap insan tidak bisa diraih dengan mudah. Banyak kondisi dalam jiwa manusia, yang bisa menjadi faktor penghalang terwujudnya kedamaian. Setidaknya ada tiga hal: pertama adalah penghayatan rasa rendah diri, kedua ketakutan kehilangan kekuasaan atau pengakuan, dan ketiga, rasa tidak percaya. Pada hakikatnya, ketiga kondisi tersebut menurut Limas bermuara pada penghayatan rasa tidak aman. Jika manusia merasa tidak aman, ia akan cenderung curiga berlebihan, defensif dan menutup diri, atau sebaliknya malah agresif dan menyerang pihak lain. Rasa tidak aman pada akhirnya melahirkan percekcokan, permusuhan, dan perselisihan. 

Maka setiap pemimpin atau calon pemimpin terlebih dahulu perlu melihat ke dalam dirinya, apakah ia tergolong memiliki problem rendah diri, takut kehilangan kekuasaan dan memiliki rasa tidak percaya? Apabila ketiga hal itu ada pada dirinya, ia harus berjuang mengelola problem tersebut dan menipiskannya. Maka dapat dipahami ternyata menjadi pemimpin syaratnya bukan sekadar kemampuan intelektual dan professional yang andal. 

Karena kedamaian demikian penting untuk setiap manusia, semestinya setiap orang terpanggil untuk mewujudkannya. Caranya, dalam relasi setiap hari setiap orang perlu menjunjung harkat dan martabat orang lain, jangan merendahkan seseorang apa pun latar belakangnya. Setiap orang harus menjauhkan diri dari sikap mengancam kepada pihak lain dan menimbulkan rasa tidak aman. Tidak menjatuhkan harga diri dan hak asasi orang lain. Pendeknya kata Limas Sutanto: menjunjung harkat, tidak merendahkan martabat, dan tidak merebakkan rasa tidak aman. 

Dua ribu tahun yang lalu, Rasul Paulus juga memberikan nasihat yang mirip bagi setiap pemimpin. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, sang rasul menulis demikian: Hendaklah dirimu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului memberi hormat. Janganlah kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan. (Roma 12: 10-11). Paulus mengajak setiap orang mendahului memberi hormat, tidak merendahkan sembari tetap melakukan karya dan pelayanan dengan penuh kerajinan, semangat dan melakukan semuanya untuk kemuliaan Tuhan. 

Selanjutnya di bagian yang sama Sang Rasul mengajak setiap orang memiliki empati kepada sesama. Agaknya ini juga kunci dalam kepemimpinan yang membawa damai. “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, menangislah dengan orang yang menangis.” (Roma 12:15). Ada rasa empati, senasib sepenanggungan. 

Masih di surat yang sama Rasul Paulus menegaskan kata kunci yang sama: “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu hiduplah dalam damai dengan semua orang!” (Roma 12:18). Kata kuncinya sama: kedamaian dengan semua orang. Meskipun Paulus sendiri menyadari bahwa membangun kedamaian tidak mudah, namun Paulus mengajak umat untuk terus berjuang dan tidak menyerah. Ada seseorang pernah mengatakan, perdamaian seringkali menghabiskan dana sama banyaknya dengan perang, namun perdamaian tetap jauh lebih baik daripada perang.” 

Sahabat Alkitab, di manapun kita ditempatkan Tuhan marilah kita memperjuangkan terwujudnya kedamaian. Kedamaian memang tidak pernah murah dan mudah. Tetap semangat dan jangan pernah menyerah. “Janganlah dikalahkan oleh kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!” (Roma 12:21).