Pdt. E.P. Sembiring: Pejuang Literasi LAI

Pdt. E.P. Sembiring: Pejuang Literasi LAI

 

Literasi atau melek huruf seringkali berbanding lurus dengan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Sebab, penduduk yang tidak bisa membaca secara tidak langsung mendekatkan mereka pada kebodohan. Kebodohan sendiri mendekatkan mereka pada kemiskinan dan ketertinggalan. Orang bodoh gampang dibodohi dan dibohongi. Oleh karena itu, mereka juga bisa dengan mudah dimiskinkan. Untuk memberantas kebodohan, penduduk harus dicerdaskan. Buta huruf yang selama ini menjadi faktor mereka dicap sebagai orang bodoh harus diperangi dengan jalan pendidikan. Pemberantasan buta huruf dengan demikian menjadi salah satu usaha untuk membebaskan manusia dari ketertinggalan dan keterbelakangan. 

Sudah cukup lama Lembaga Alkitab menyelenggarakan Program Pembaca Baru Alkitab (PBA), yaitu program pemberantasan buta aksara (literasi) berbasiskan Alkitab. Rintisannya sudah dimulai 47 tahun yang lalu di Medan. Program PBA merupakan kepedulian LAI untuk membantu umat kristiani agar memiliki kemampuan dasar baca dan tulis. Jika umat sudah mampu membaca dan menulis, mereka akan mulai rajin membaca Alkitab. Selanjutnya mereka diharapkan akan lebih aktif dan percaya diri untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan di gereja dan masyarakat, bahkan mampu meningkatkan kualitas hidup mereka.

Membicarakan program pemberantasan buta aksara yang diselenggarakan oleh LAI tidak bisa dilepaskan dari sosok Pdt. E.P. Sembiring, yang sedari 1975 berjuang merintis dan mengembangkan program literasi LAI ke seluruh pelosok Nusantara. Demikian beliau menceritakan sekilas perjalanan kehidupan beliau. 

Masa Kecil di Pancurbatu

Nama saya Sembiring. Lengkapnya Eliezer Pietje Sembiring Brahmana. Saya lahir di Sibolangit, kecamatan Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara, 3 Oktober 1947 sebagai anak ke-4 dari 8 bersaudara. Bapak saya Tepak Sembiring, seorang pegawai di Dinas Pendapatan Daerah. Ibu saya bernama Tepat br. Ketaren. Sekitar tahun 1950, keluarga kami pindah ke Laucekala, Pancurbatu, sekitar 30 km dari Sibolangit. Laucekala artinya Sungai Asam. Dari pendidikan dasar hingga lulus SMA saya selesaikan di Pancurbatu. Saya adalah angkatan pertama yang lulus dari SMA Negeri Pancurbatu. 

Keluarga kami bukanlah keluarga berada, maka sedari SD saya sudah ikut  turun ke ladang. Dari tingkat SMP hingga SMA saya memelihara kambing. Banyak orang mengatakan saya bertangan dingin. Setiap kali kambing saya beranak, tiga anak kambing keluar. Sementara kambing orang lain, rata-rata setiap beranak cuma  satu atau dua ekor. Hampir setiap akhir pekan, saya bawa kambing ke pasar, saya jual. Sabtu pagi sebelum berangkat ke sekolah, saya mampir ke pasar untuk menjual kambing. Di jalan saya berpapasan dengan teman-teman sekolah dan guru yang berangkat ke sekolah. Karena demikian seringnya saya berpapasan dengan teman-teman ketika menjual kambing, saya dijuluki Perkambing-kambing yang artinya tukang kambing. Bahkan guru saya di kelas ikut menjuluki saya demikian. Hasil penjualan kambing itu saya masukkan tabungan untuk kebutuhan sekolah ataupun kebutuhan lain. 

Selepas SMA, saya  menyadari bahwa saya memiliki kelemahan di Ilmu Kimia. Setiap kali ujian nilai saya tidak pernah bagus. Hal ini justru membuat saya terpacu. Karena rasa penasaran, saya  bermaksud  melanjutkan studi di Jurusan Kimia, IKIP Medan. Saya kemudian menemui  Ketua Jurusan Ilmu Kimia IKIP Negeri Medan yang kebetulan saya kenal. Saya terus terang mengatakan kepada beliau bahwa saya lemah Kimia. Namun, saya ingin belajar supaya bisa. Saya katakan jika beliau berkenan, saya ingin masuk Jurusan Kimia sekaligus tinggal menumpang di rumahnya. Melihat semangat saya, Ketua Jurusan Kimia tersebut setuju. Agaknya ia sendiri heran dan kagum dengan keanehan saya. Akhirnya, saya menjalani tes masuk dan diterima. Entah karena memang betul lolos tes atau atas bantuan dari kenalan saya tersebut.

Berbeda dengan keinginan saya, Bapak saya berkehendak lain. Ternyata beliau sangat ingin salah seorang anaknya menjadi Pendeta. Dan harapan itu agaknya tertuju pada saya. Bapak mengungkapkan keinginan itu kepada saya, namun beliau tidak ingin memaksa. Agar bukan keinginan Bapak, atau keinginan saya yang jadi, beliau dengan bijak mengajak saya menemui Bapak Pendeta. “Bagaimana kalau kita minta masukan dari Pendeta, ke mana arah masukan beliau, demikianlah nanti keputusan kita,” demikian kata Bapak saya. 

Maka berangkatlah kami ke tempat Pendeta Christian Tarigan, seorang pendeta dari Jakarta. Beliau bercerita bagaimana suasana kota Jakarta dengan segala pernak-pernik kehidupannya. Cerita beliau mulai menarik minat saya untuk merantau ke Jakarta dan mengambil kuliah teologi. Padahal saya pada waktu itu sudah menjalani orientasi di IKIP Negeri Medan. Pendeta Christian memberikan masukan demikian, “Kita berikan kesempatan saja kepada Elias untuk mengikuti tes masuk Sekolah Teologi. Jika tidak lulus berarti memang bukan kehendak Tuhan, dan biarkan Elias meneruskan studinya di IKIP Medan. Jika lulus, nanti kita lihat perkembangannya. Biarkan Tuhan yang menunjukkan jalannya,” lanjutnya. 

Masuk STT Jakarta

Beberapa waktu kemudian saya mengikuti tes saringan masuk sekolah teologi. Bahannya dikirim dari Jakarta, namun saya menjalani tesnya di Medan, di kantor PGIW Medan. Pesertanya ratusan dan datang dari berbagai gereja. Singkat cerita hasilnya saya diterima. Saya mulai berpikir, berarti memang ada maksud Tuhan. Orang-orang yang mengikuti tes begitu banyaknya, tetapi yang diterima sedikit. Saya mulai berpikir untuk membahagiakan orang tua saya. Saya tekan keinginan saya untuk kuliah di Jurusan Kimia. Selain itu, saya sadari keinginan kuliah di Jurusan Kimia lebih didasari rasa penasaran dan harga diri semata. Akhirnya, sekitar tahun 1967, saya berangkat ke Jakarta.

Di Jakarta saya tinggal di asrama mahasiswa STT di Jalan Proklamasi no.27. Enam tahun lamanya saya tinggal di asrama tersebut. Sistem perkuliahan di STT waktu itu menggunakan sistem gugur pada tahun pertama. Oleh karenanya beasiswa baru dirasakan oleh mahasiswa tingkat dua. Namun, saya termasuk perkecualian. Baru masuk STT pun sudah mendapatkan beasiswa. Mungkin Tuhan tahu bahwa orang tua saya bukan orang yang berkecukupan. Sewaktu tingkat satu, di luar waktu kuliah  saya sudah mulai mengajar di SMP PSKD. Malam harinya saya  bertugas menjaga dan membersihkan perpustakaan. Sambil menunggu orang belajar di perpustakaan, saya juga ikut belajar. Sesekali kemampuan saya menulis rapi dimanfaatkan oleh gereja GBKP untuk membantu menulis di surat keterangan baptis dan pengakuan percaya. Dari beberapa tempat itulah saya mendapatkan uang saku untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Ada satu kelebihan saya sewaktu kuliah di STT, yaitu ketekunan. Saya sadar diri saya tidak terlalu pandai. Orang lain mungkin sekali kuliah langsung bisa menangkap materi kuliah, sementara saya harus mengulang berkali-kali baru bisa memahami. Karena itu, saya relatif tidak bisa santai, atau bermain-main. Waktu saya habis untuk belajar. Namun, ternyata hal ini malah menjadi keuntungan bagi diri saya. Banyak mentor-mentor saya, yang saya pikir jauh lebih pintar, kena drop out. Hal itu terjadi  karena mereka sembrono dan kurang tekun dalam belajar. 

Selepas lulus dari STT Jakarta pada tahun 1973, saya kembali ke Medan. Karena saya merasa dikirim oleh gereja, saya merasa wajib untuk melaporkan kelulusan saya. Tak lama kemudian, sekitar tahun 1974, saya diangkat menjadi vikaris di GBKP Batang Serangan, Medan. Masih di tahun itu juga, saya ditahbiskan menjadi pendeta. Tempat penahbisannya di Kaban Jahe. Ayah saya yang begitu berharap saya menjadi pendeta, ikut hadir dalam ibadah penahbisan tersebut. Beliau terlihat sangat berbahagia melihat saya akhirnya  menjadi pendeta. Selepas tahbis saya melayani jemaat GBKP Darussalam, Medan.

Bergabung dengan LAI, Merintis Proyek Literasi

Pada 25 Juli 1975, kala saya masih segar-segarnya melayani di tengah jemaat, seorang utusan dari Lembaga Alkitab Indonesia, yaitu Jan Pieter Sinaga, mantan adik kelas saya di STT,  datang menemui saya di gereja. Beliau  mengatakan  bahwa beliau diutus oleh Sekretaris Umum LAI, Bapak Pdt. W.J. Rumambi. Saya diajak bergabung untuk memperkuat tim di LAI. Pak Rumambi tampaknya masih ingat kepada saya yang cukup aktif berorganisasi selama kuliah di STT dan dalam segi administrasi saya boleh dikatakan tertib dan rapi. 

Mendapat tawaran bergabung dari LAI, saya sebagai seorang pendeta GBKP, tidak segera memberi keputusan. Tidak etis jika saya memberi keputusan. Saya persilakan Pak Sinaga menghadap ke sinode. Ternyata dari sinode tidak menyatakan keberatannya. Meskipun waktu itu GBKP sendiri kekurangan tenaga pendeta. Saya masih ingat pernyataan dari pengurus sinode waktu itu, “Kalau dalam kelebihan kita memberi rasanya kurang pergumulannya. Namun, kalau dalam kekurangan kita mampu memberi nilainya terasa lebih.” Setelah izin dari gereja turun, akhirnya saya pun bersedia masuk LAI. 

Setelah selesai menjalani masa percobaan beberapa waktu, maka saya langsung diangkat menjadi Kepala Cabang LAI di Medan. Waktu pertama kali menjadi Kepala Cabang, saya hanya ditemani seorang staf. Sementara ladang pelayanan begitu luas, membentang dari Aceh hingga Palembang. Semua wilayah pelayanan itu saya jelajahi naik bis. Dari Aceh yang naik turun pegunungan, Padang yang berkelak-kelok, hingga Palembang saya jelajahi secara rutin. Tidak ada istilah lelah atau putus asa melihat luasnya ladang pelayanan tersebut.

Sejak tahun 1975 LAI memang terlihat mulai mengubah orientasinya. LAI yang tadinya lebih bersifat menunggu, menjadi eksodus. Aktif melayani. Untuk itu diperlukan tenaga-tenaga kepala cabang untuk ditempatkan di perwakilan-perwakilan LAI di Medan, Manado, Makasar, dan Jayapura dengan syarat bersedia ke luar ke sana kemari karena tugas kepala cabang tersebut nantinya mengharuskan lebih banyak di lapangan daripada di dalam ruangan. 

Selain itu, pada tahun 1973, dalam Persidangan Raya Lembaga-lembaga Alkitab Sedunia (UBS), di Addis Ababa, Ethiopia, Lembaga Alkitab Indonesia menjadi pilot project (proyek percontohan) New Readers Program (program pemberantasan buta huruf). Pada tahun 1975, LAI akhirnya meluncurkan program ini dan lokasi pertama yang dipilih adalah Medan. Kegiatan ini berlangsung di aula Gereja Methodis di Jalan Hang Tuah No. 8, Medan. 

Sebagai panitia pelaksana LAI merangkul  Keuskupan Agung Medan yang langsung diwakili Ukup Agung Medan, Mgr. Dr. AGP Datubara, Gereja Methodis Indonesia dan Kantor Wilayah Departemen Agama, Bimas Kristen Protestan Wilayah Sumatra Utara. Proyek perintisan di Medan tersebut berhasil menjangkau 213 guru dan 39.000 anak. Meskipun sebagai proyek percontohan dan perintisan, saya menganggap proyek ini merupakan program raksasa dengan cakupan peserta yang cukup luas. Program ini mendongkrak angka penyebaran terbitan LAI, sehingga LAI mendapatkan penghargaan khusus dari Persekutuan Lembaga-lembaga Alkitab Sedunia (UBS). Sekitar 399.000 eksemplar Alkitab dan beragam bacaan yang merupakan petikan cerita-cerita Alkitab juga berhasil disebarkan sepanjang program berlangsung. Gereja-gereja juga memperoleh nilai plus, melalui pelaksanaan program ini. Program Pembaca Baru meningkatkan kualitas anak didik dan menumbuhkan minat baca pada anak-anak. Di sisi lainnya gereja-gereja semakin tertolong karena warga jemaatnya kini gemar membaca Alkitab. Oleh karena dianggap sukses, pada tahun berikutnya program ini ditingkatkan ke empat daerah yang cukup luas: Sumba, Jawa Tengah dan Jawa Timur, Sumatra Utara, dan Sulawesi Utara. 

Meski tak jarang lelah, jerih lelah kami Staf LAI Medan tidak sia-sia. Produk-produk terbitan LAI baik untuk kegitan Pembaca Baru maupun Alkitab untuk umat pada masa itu dikirim lewat kapal, dan kami harus mengambil langsung kiriman tersebut ke Pelabuhan Belawan, yang jaraknya sekitar 24 km dari Medan. Sementara pada masa itu LAI belum memiliki sarana transportasi. Sarana dan prasarana yang terbatas tidak membuat semangat kami kendor. Selalu ada solusi dalam setiap permasalahan. Terlebih buku-buku cerita-cerita Alkitab sangat disukai dan kehadirannya selalu ditunggu-tunggu anak-anak Sekolah Minggu. Banyak yang menyampaikan aktivitas Sekolah Minggu menjadi lebih hidup dengan adanya berbagai kreativitas yang diajarkan dalam pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan LAI. 

Untuk pelayanan keliling ke seluruh Sumatra sering saya carter truk atau bus mini untuk membawa buku dari kantor LAI di Medan, melalui Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Parapat, Porsea, Tarutung dan SIbolga. Di setiap gereja yang kami temui di perjalaan, kami berhenti untuk menurunkan buku-buku Pembaca Baru. Sering kami harus bermalam di jalan. Kadang sambi truk berjalan, saya tidur di tempat kecil di belakang kursi supir truk. Meski sempit, tapi cukuplah untuk tidur mengistirahatkan badan. 

 

Pengalaman Menarik Selama Program PBA

Ada beberapa pengalaman menarik selama menjalankan program literasi LAI. Yang menyenangkan bagi saya melalui Program Pembaca Baru Alkitab ini kehadiran LAI ada kalanya menjadi mediator atau jembatan hubungan antar gereja yang kadang kurang harmonis. Di berbagai daerah gereja-gereja yang kurang akur sama-sama hadir ke acara Program Pembaca Baru. Hubungan antara LAI dengan Gereja Katolik makin lama juga makin erat, karena adanya dukungan langsung dari Uskup Agung Medan.

Berikutnya melalui Program Pembaca Baru, jejaring LAI dalam pelayanan semakin luas. Semakin banyak kenalan baru baik dari kalangan pendeta, tokoh-tokoh gereja, pemerintah maupun guru. Angka penyebaran Alkitab pun meningkat karena tingginya pesanan dari jaringan persabatan tersebut. Sebagai promotor dan Kepala Cabang saya merasa bangga dan bersyukur. Kantor Pusat pun memberikan “pujian” atas keberhasilan Cabang Medan. Karena berbagai keberhasilan yang dicapai, nantinya saya dipanggil untuk berkarya di Kantor Pusat untuk melanjutkan karya pelayanan di Jakarta. 

Secara pribadi Program PBA menjadi media bertemunya saya pribadi dengan seseorang yang nantinya menjadi pendamping hidup saya. Kejadiannya di Pematang Siantar. Waktu itu LAI mengadakan pertemuan dengan guru-guru Sekolah Minggu dari gereja-gereja setempat. Salah seorang dari guru sekolah minggu yang hadir tersebut ternyata telah menarik perhatian saya, dan ternyata perhatian saya tidak bertepuk sebelah tangan.

Setelah  beberapa lama saling mengenal satu sama lain, akhirnya saya persunting gadis itu, Suryati br. Purba. Dia seorang guru sekolah minggu di GBKP setempat. Pernikahan kami pada 24 Februari  1978 berlangsung cukup meriah karena kebetulan istri saya adalah putri dari Komandan Kodim 0204, Simalungun. Bahkan karena meriahnya, berita pernikahan kami pun masuk koran Sinar Indonesia Baru edisi 1 Maret 1978. 

Selain mengerjakan tugas-tugas pelayanan LAI, di Medan saya diberi kesempatan untuk memberikan kuliah Agama Kristen di USU (Universitas Sumatera Utara). Tiga tahun pertama saya mengajar di sana, saya tidak mendapatkan honor sesenpun. Namun, memasuki tahun keempat, pihak perguruan tinggi memberikan berbagai macam honor kepada saya: ada uang berdiri, uang lelah, dan uang bikin soal. Persoalan honor bagi saya bukanlah yang utama karena saya selalu yakin bahwa Tuhan senantiasa akan mencukupkan kebutuhan keluarga saya. Terlebih saya memiliki motto: hidup yang memberi manfaat bagi orang lain. Saya ada untuk orang lain. 

Bertahun-tahun kemudian, saya mendapatkan berkat yang lebih berarti dari pengalaman mengajar di USU tersebut. Mahasiswa-mahasiswa yang dulu saya ajar senantiasa ingat kepada saya. Mereka telah menjadi orang-orang sukses di berbagai pelosok Nusantara. Di beberapa tempat yang saya kunjungi, seperti di Papua, di Kalimantan, atau Sulawesi saya bertemu dengan mereka. Di sana saya dijamu seakan-akan seorang tamu besar.

Rupanya kondisi lapangan pelayan yang berat menjadikan saya menjadi tahan uji. Waktu kecil saya tidak tahan kalau berdiri di atas bis. Pasti mabuk. Saya pernah memimpin rombongan lima truk berisi porsion-porsion PBA dari Medan hingga Sibolga. Di setiap gereja yang kami temui di perjalanan, kami berhenti menurunkan porsion-porsion tersebut. Ibarat konvoi militer. Di atas truk pun saya bisa tidur dengan lelap.

Pindah ke Depok

Beberapa  waktu kemudian, sekitar tahun 1984,  saya ditarik oleh Sekretaris Umum LAI ke kantor pusat. Keluarga kami berpindah tempat tinggal di Depok. Sejak di kantor pusat, saya punya kebiasaan unik baru. Saya bisa tidur berdiri. Di atas kereta api listrik (KRL), dalam perjalanan menuju kantor, karena begitu padatnya penumpang dan berbagai macam barang yang berjejalan di dalamnya, kita bisa tidur sambil berdiri. Di dalam kereta yang begitu padatnya, sesama penumpang senasib sepenanggungan. Kita injak kaki orang, orang tersebut tidak akan marah. Orang injak kaki kita, senasiblah.

“Pada masa itu daerah Depok belum seperti sekarang. Masih becek dan sering berlumpur. Akhirnya, untuk mengakalinya saya tinggalkan sepatu saya di kantor. Saya berangkat ke kantor pakai sandal.” Kepala toko waktu itu Pak Londakh, membawa bible van. Dia tinggal di Depok. Maka untuk selanjutnya saya  menumpang Pak Londakh. 

Tahun 1996 saya tinggalkan pelayanan di Depok. Saya pindah melayani di jemaat GBKP Bogor. Sejak sekitar tahun 1990-an saya memang sudah tinggal di komplek LAI di Bogor. Semenjak tinggal di komplek di Bogor, saya berangkat ke kantor naik mobil kantor. 

Meskipun saya pindah ke kantor pusat, menjadi sekretaris distribusi, tapi bukan berarti saya tidak lagi turun lapangan. Bedanya kalau dulu wilayah pelayanan dari Aceh hingga Medan, ketika menjadi sekretaris distribusi wilayahnya seluruh Indonesia. 

Setelah belasan tahun menyelenggarakan Program Pemberantasan Buta Huruf/ Pembaca Baru Alkitab (PBH/PBA), sekitar awal 2000-an LAI melakukan evaluasi menyeluruh. Agar ke depannya program literasi berjalan dengan lebih efektif dan efisien. Sekarang LAI lebih berfokus mengadakan proyek-proyek di suatu lokasi dalam jangka waktu satu tahun. Setiap memulai pelaksanaan program di suatu daerah, dimulai dengan survei untuk mengumpulkan berbagai informasi dan data dari kantong-kantong buta huruf serta membuat pemetaan keberadaan peserta didik. Selanjutnya dilakukan analisis data awal. 

Setelah itu tim dari LAI akan meninjau langsung ke lokasi. Pada tahapan ini LAI mengadakan pertemuan dengan berbagai elemen masyarakat seperti: Dinas Pendidikan setempat, pemerintah daerah, gereja, aktivis pelayanan. Tim juga mengadakan seleksi calon tutor yang diselenggarakan LAI bersama Dinas Pendidikan setempat. Tim LAI juga menetapkan koordinator wilayah. Pada PBA era baru ini LAI menetapkan salah satu stafnya sebagai pimpinan lapangan. Staf berada di lokasi selama kurang lebih setahun lamanya, selama program ini berlangsung. 

Program PBH/PBA di era yang baru dimulai ujicobanya pada 23 Maret 2004 di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur. Program berlangsung hampir setahun, menjangkau 17 kecamatan, dengan diikuti 3979 peserta aktif, dengan melibatkan 207 tutor dan 15 koordinator wilayah. Program ini boleh dikatakan sukses berkat dukungan gereja setempat baik Protestan dan Katolik dan adanya dukungan dari pemerintahan daerah. 

Tiap ada bencana alam, biasanya saya dikirim untuk bertugas oleh LAI, karena itu memang bagian saya. Tiap selesai satu proyek penerjemahan, bagian saya menyiapkan peluncuran Alkitab. Yang ketiga, ada kalanya ada Sekretaris Umum (Sekum) LAI bukan tipe orang yang suka keluar daerah. Nah, saya yang sering ditugaskan mewakili Sekum dalam kegiatan pertemuan-pertemuan/sidang tingkat nasional. Tiga hal ini saja sudah menyebabkan saya sering keluar. Apalagi semenjak kita berhubungan dengan Departemen Diknas, dalam rangka PADU dan PBH, menyebabkan kita harus sering bertemu dengan mereka. Selama berkarya di LAI, seluruh Indonesia sudah saya jelajahi, tinggal satu provinsi yang belum, yaitu Sulawesi Tenggara (Kendari). 



Memasuki Masa Pensiun 

Sesudah memasuki masa pensiun penuh dari LAI, waktu saya tercurah untuk gereja saya,GBKP, karena hampir tiap hari sesungguhnya ada panggilan pelayananSelain itu di Bogor selama 5 tahun saya dipercaya menjadi Ketua Umum BKSG (Badan Kerjasama Antar Gereja) Bogor dan masuk kepengurusan di PGIS Bogor. 

Ada yang bertanya mengapa di usia kepala enam ini badan saya masih terlihat segar? Hal itu karena saya disiplin menjaga tubuh saya. Hal pertama adalah jangan pernah lupa berdoa. Selain itu, hingga sekarang saya senantiasa mencuci pakaian saya sendiri, tidak pernah pakaian saya dicucikan istri. Saya juga selalu menyempatkan menyapu rumah terutama sekitar halaman. Juga tidak pernah malu untuk mengepel lantai. Mengepelnya bukan dengan alat pel tetapi saya jongkok dengan kain. 

Ada satu hal lain yang bisa disebut kelebihan namun sekaligus kekurangan saya. Saya tidak pernah memiliki kendaraan, sehingga keluar rumah pasti jalan kaki. Kadang-kadang kalau saya berkunjung ke rumah jemaat atau hadir di suatu acara perkawinan sering ditanya, kendaraannya ditaruh di mana? Saya menjawab kendaraan saya parkir agak jauh dari sini. Banyak yang tidak tahu bahwa Pendeta E.P tidak memiliki kendaraan. 

Bagi saya pelayanan berarti sebuah kesempatan. Setelah pensiun dari LAI, pada 1 Maret 2007, saya kembali melayani jemaat GBKP Jampind (Jampind singkatan Jampancis Inkopad. Sementara Jamprancis sendiri artinya Jampang, Parung, Ciseeng, Sawangan dan sekitarnya. Inkopad singkatan dari Induk Koperasi Angkatan Darat). 

Sebagai seorang gembala yang pernah berkarya di LAI, menurut saya melalui Alkitab isi hati Allah disuratkan. Melalui kesetiaan membaca Kitab Suci menjadikan firman Tuhan menjadi pelita bagi kaki dan terang bagi jalan kehidupan saya. Seperti yang diungkapkan dalam 2 Tim. 3:16, Alkitab ibarat cermin yang menyatakan saya apa adanya. Melalui tuntunan Kitab Suci saya memiliki kesempatan untuk memperbaik diri menjadi lebih baik. Alkitab menjadi sumber inspirasi kehidupan saya. Saya berharap orang lain juga merasakan berkat damai sejahtera seperti yang saya rasakan.