Penerjemahan Alkitab Jawa: Mulai Dari Bruckner Hingga LAI 

Penerjemahan Alkitab Jawa: Mulai Dari Bruckner Hingga LAI 

 

Setiap beberapa bulan sekali Tim Revisi Alkitab  dalam bahasa Jawa berkumpul di Salatiga. Tepatnya di Wisma Sabda Mulia, “padepokan” milik Sinode Gereja Kristen Jawa Tengah Bagian Utara (GKJTU). Di kota yang sejuk dan tenang ini ratusan gereja Tuhan berdiri, berdampingan nyaman dengan berbagai tempat ibadah lain yang juga bertebaran di berbagai sudut kota. Salatiga juga menjadi pusat Sinode dua gereja besar di Jawa Tengah: Gereja Kristen Jawa (GKJ) dan Gereja Kristen Jawa Tengah bagian Utara (GKJTU). Dua kantor sinode ini bergantian menjadi tuan rumah pertemuan para anggota tim revisi Alkitab bahasa Jawa. 

 

Memilih Salatiga sebagai tuan rumah pembaruan penerjemahan Alkitab Jawa, secara tidak sengaja juga meneruskan sejarah penerjemahan Alkitab dalam bahasa Jawa sejak ratusan tahun silam. Di kota ini, Bruckner dan Gericke pernah singgah dan berkarya. Siapa Bruckner? Dan siapa pula Gericke? Mereka adalah dua orang utusan zending dari Netherlands Zending Genootschap (NZG) yang merintis penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jawa. 

 

Berpacu Melawan Waktu dan Globalisasi

 

Sambil melaksanakan tugas meliput proses pembaruan terjemahan Alkitab Jawa di Salatiga, saya menyempatkan diri berkeliling ke beberapa tempat di sekitar Salatiga, Solo dan Yogya. Dua malam saya sempatkan untuk menonton pertunjukan wayang orang di Taman Budaya Sriwedari, Solo. Dua kali saya menonton, dua kali pula pertunjukan sepi penonton. Dari lima ratus kursi yang tersedia. Hanya ada belasan orang yang menonton pertunjukan itu.  Itu pun sebagian besar turis Jepang dan orang-orang bule. Artinya kalau boleh disebut jumlah pemain wayang lebih banyak dari orang yang menontonnya. Padahal, belasan tahun lampau pertunjukan wayang orang ini selalu penuh dengan penonton. Orang yang mau melihat pun harus mengantri tiket. Zaman tampaknya sudah berubah. 

 

Hari Minggu pagi saya pergi beribadah di Gereja Kristen Jawa (GKJ) di suatu tempat di Solo. Ibadah pagi itu menggunakan pengantar bahasa Jawa. Yang hadir sedikit sekali. Sebagian besar warga lanjut usia. Suasana ruang ibadah terasa sangat sunyi. Seorang warga menyatakan, kaum muda lebih memilih ibadah dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Ibadah bahasa Jawa susah dipahami anak-anak muda. Apalagi bahasa Jawa yang digunakan adalah bahasa Jawa kromo (halus). 

 

Beberapa pendeta di lingkungan GKJ malah mengakui dewasa ini tidak semua GKJ dalam ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Di Yogyakarta, misalnya, ada GKJ yang di hari Minggu melaksanakan 7 kali ibadah (7 jam kebaktian), namun hanya sekali menyediakan ibadah dengan bahasa Jawa. Sisanya yang 6 kali  menggunakan bahasa Indonesia. Tapi banyak orang meyakini sebagian besar orang Jawa masih menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. 

 

Seorang dosen bahasa dan sastra Jawa dari Universitas Sebelas Maret Solo menyatakan, bahasa Jawa berada pada nomer 14, sebagai bahasa dengan penutur terbanyak di dunia. Tercatat ada 77,75 juta orang yang sehari-harinya menggunakan bahasa Jawa sebagai sarana komunikasi. Namun, di sisi lain, cukup banyak orang Jawa yang tidak bisa lagi berbahasa Jawa dengan baik (sumber: kolom pasinaon dalam www. Tembi.org). Peneliti di Kabut Institut Solo, Bandung Mawardi di harian Solo Pos, bahkan menyatakan nasib bahasa Jawa sering mengalami maju mundur. Bahasa ini sering menjadi obyek penelitian. Namun, sering pembangunan dan pemakaiannya hanya berhenti pada semangat kultural, mempertahankan budaya, tanpa dibarengi semangat politik pemerintah untuk memajukan bahasa Jawa. Dalam penggunaannya, bahasa Jawa bahkan sering kalah dibanding bahasa asing seperti Inggris, Belanda, China, Arab. 

 

Dalam wawancara dengan harian Solo Pos, ahli bahasa dan budaya Jawa Sugiyatno Ranggajati, ditanya kemungkinan hidup dan matinya bahasa Jawa. Atas pertanyaan tersebut, Sugiyatno Ranggajati menyatakan demikian,” Bukan masalah bahasa dan aksara Jawa nantinya bakal mati atau tidak. Yang lebih penting adalah pandangan orang Jawa sendiri terhadap bahasa Jawa tersebut. Bagaimana maunya orang Jawa tersebut. Masih bersedia dan mau menggunakan bahasa Jawa tidak? Jika tidak, ya bahasa dan aksara Jawa tentu tinggal menunggu saatnya mati. Namun jika mau, segenap masyarakat Jawa harus terlibat memelihara, supaya bahasa Jawa bisa meluas penggunaannya dalam lingkup pergaulan dan komunikasi orang-orang Jawa. 

 

Maka pekerjaan Lembaga Alkitab Indonesia dan gereja-gereja pengguna bahasa Jawa dalam pembaruan Alkitab bahasa Jawa ini cukup berat. Ibaratnya tim penerjemah sekarang berpacu dengan waktu dan arus besar globalisasi. Situasinya jauh berbeda dengan ketika Bruckner di akhir abad 18 mengawali terjemahan Bahasa Jawa. Pada masa itu orang Jawa menggunakan komunikasi lisan dan tulis dengan bahasa Jawa. Seperti di beberapa daerah lain, pembaruan (revisi) terjemahan Alkitab Bahasa Jawa ini sekaligus menjadi momentum untuk melestarikan bahasa Jawa di tengah-tengah penggunanya, terutama di kalangan generasi muda. Paling tidak gereja ikut mendukung upaya pelestarian bahasa agar nilai-nilai kebaikan dalam budaya Jawa tidak punah, melainkan lestari hingga generasi-generasi yang akan datang. 

Berikut jalan panjang penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jawa, yang diawali Bruckner dan terus berlanjut hingga masa Lembaga Alkitab Indonesia.  

Bruckner Sang Pemula

 

Pada tahun 1814, Lembaga Alkitab Belanda berdiri di Amsterdam. Di tahun yang sama dengan berdirinya Lembaga Alkitab Belanda tersebut, tepatnya 25 Mei 1814, tibalah di pelabuhan Sunda Kelapa 3 orang utusan NZG, lembaga zending dari negeri Belanda. Mereka adalah, Joseph Kam, G.Bruckner dan J. S. Supper. Tak lama kemudian Joseph Kam diutus melayani di Ambon, Bruckner dikirim ke Semarang, sementara Supper menetap di Batavia. 

 

Setiba di Semarang Bruckner akrab bergaul dengan orang-orang setempat dari berbagai kalangan. Bruckner gemar melakukan perjalanan ke Salatiga, ke Solo bahkan sampai Jawa Timur. Bruckner dengan tekun mendalami bahasa Jawa. Tahun 1819, Bruckner selesai menerjemahkan keempat Kitab Injil dalam bahasa Jawa. Setahun kemudian dirinya telah selesai menerjemahkan seluruh isi Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jawa. Namun agaknya, Bruckner merasa kurang puas dengan hasil terjemahannya. Setahun kemudian (1821), Bruckner mengoreksi kembali hasil terjemahannya agar terjemahannya agar memenuhi kebutuhan penduduk asli. Setelahnya Bruckner pindah dari Semarang ke Salatiga dan tinggal di kota ini selama beberapa tahun. Di sini Bruckner mengajar di sebuah sekolah dan akrab bergaul dengan penduduk-penduduk desa di sekitar tempat tinggalnya. Kemampuan bahawa Jawanya semakin terasah.

 

Pada tahun 1824, hasil terjemahan Bruckner selesai diperiksa oleh para pakar bahasa Jawa. Hasil terjemahan Bruckner siap untuk diterbitkan oleh OIBG (Oost-Indisch Bijbelgenootschap/Lembaga Alkitab Hindia Timur). Untuk menerbitkannya bukan perkara yang mudah. Karena aksara yang digunakan dalam karya terjemahan ini adalah aksara Jawa. Artinya plat dan bilah cetak untuk aksara Jawa harus disiapkan. Meski demikian, pihak OIBG akan berusaha keras menyiapkan segala sarana pencetakan. 

 

Belum sempat karya tersebut terbit, Perang Diponegoro pecah di Jawa. Perang ini  merupakan salah satu perang terbesar dalam sejarah kolonial Belanda dan juga perang yang paling memakan bagi pemerintah kolonial. Keadaan di Jawa kacau balau. Rencana pencetakan dan penerbitan karya terjemahan Bruckner tertunda. Dalam masa-masa sulit akibat perang tersebut, Bruckner tidak kehilangan semangat. Ia malahan memulai penerjemahan Kitab-kitab Perjanjian Lama. Setahun sebelum perang Diponegoro selesai, Bruckner selesai menerjemahkan 5 kitab pertama Perjanjian Lama. 

 

Akhirnya, di permulaan tahun 1831, Perjanjian Baru hasil karya Bruckner berhasil diterbitkan. Untuk permulaan dicetak 3000 eksemplar Perjanjian Baru. Di sampul muka, Perjanjian Baru hasil terjemahannya, Bruckner meminta tahun penerbitan dituliskan 1829. Karena sebelum 1831, beberapa petikan Perjanjian Baru itu sudah beredar dalam bentuk risalah-risalah kecil di masyarakat. 

 

Meskipun di kalangan Belanda sendiri, terjemahan Bruckner tersebut mendapat banyak kritikan tajam, terutama dari JFC. Gericke, namun terjemahan ini layak dihormati. Perjanjian Baru Bruckner ditulis dalam bahasa Jawa yang mudah dipahami masyarakat awam di Jawa. Hebatnya, karyanya ditulis menggunakan aksara Jawa yang untuk mempelajarinya membutuhkan perjuangan tersendiri. Hasil karya Bruckner tersebut menolong para pekabar Injil di berbagai pelosok Pulau Jawa untuk memberitakan kabar sukacita Yesus Kristus di kalangan penduduk lokal. Hingga sekarang, nama Bruckner terus dikenang sebagai penerjemah pertama Kitab Suci ke dalam bahasa Jawa. 

 

Dilanjutkan Gericke 

 

Tahun 1848, ketika Bruckner berusia 65 tahun, J.F.C. Gericke menawarkan kepada OIBG terjemahan Perjanjian Baru bahasa Jawa yang telah selesai dikerjakannya. Terjemahan ini diharap mengganti terjemahan sebelumnya karya Bruckner. Sang perintis menanggapi peristiwa ini sebagai berikut,”  Selama dua puluh tahun terjemahan saya beredar di kalangan orang Jawa, tetapi sekarang akan digantikan oleh terjemahan lain yang bermutu lebih baik, yang dibuat oleh saudaraku yang terkasih, Tuan Gericke.” Bruckner sungguh seorang yang rendah hati. Baginya yang penting bukan terjemahannya sendiri, melainkan terjemahan bermutu baik untuk kepentingan umat dan perluasan Kerajaan Tuhan. 

 

Gericke tiba di Batavia pada tahun 1827, atau tiga belas tahun setelah Bruckner datang. Pada masa itu Perang Diponegoro sedang mencapai puncaknya. Tak lama kemudian, Gericke tinggal di Surakarta. Di sana ia mempelajari bahasa Jawa dengan tekun. Tapi ia lebih cenderung belajar bahasa keraton (kromo inggil), yang jarang digunakan masyarakat awam. Selama perang Diponegoro berlangsung Gericke gemar menjelajahi berbagai tempat di Jawa. Bahkan sempat menetap di Ponorogo. 

 

Pada tahun 1832, atas usulan Gericke di Surakarta didirikan Institut Bahasa Jawa. Ia diangkat menjadi direktur pertamanya. Namun justru tugas utamanya menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jawa menjadi tertunda-tunda karena kesibukannya mengurus institut. 

 

Baru pada sekita tahun 1840 Gericke mulai menerjemahkan empat kitab Injil dan Kisah Para Rasul. Dia memakai bahasa kromo (Jawa halus). Empat tahun kemudian dia rombak total hasil terjemahannya. Kali ini ia menerjemahkan ulang dengan bahasa ngoko (Jawa sehari-hari). 

 

Dalam melakukan tugas penerjemahan Perjanjian Baru, Gericke biasa memulai pekerjaannya dengan mempelajari naskah bahasa asli Kitab Suci secara seksama. Selain itu ia selalu membaca berbagai rujukan pustaka dari berbagai buku pedoman penafsiran maupun karya-karya terjemahan Alkitab yang lain. Gericke ingin menghasilkan sebuah terjemahan Alkitab yang setia dan teliti, artinya sedapat mungkin mengungkapkan isi naskah bahasa asli kata demi kata ke  dalam bahasa Jawa dengan murni, namun tetap sesuai bahasa yang hidup dan yang jelas dapat dimengerti oleh semua orang. 

 

Tahun 1848, terjemahan Perjanjian Baru karya Gericke akhirnya terbit. Meskipun banyak juga kritik-kritik tajam yang bermunculan menanggapi terjemahan karyanya. Kebanyakan kesalahan penerjemahannya karena hasil terjemahannya tidak sungguh-sungguh diperiksa dan diperbaiki oleh orang-orang Jawa yang dimintai tolong untuk memeriksa. Tahun 1854, terjemahan Perjanjian Lama Gericke menyusul diterbitkan. 

 

Salah satu yang mengkritisi hasil terjemahan Gericke adalah Roorda. Bahkan, kemudian Roorda menjadi penanggung jawab revisi Perjanjian Baru karya Gericke. Dengan dibantu beberapa orang Jawa yang terpelajar Roorda menyelesaikan revisinya pada Agustus 1859, dua tahun setelah meninggalnya Gericke.  Setahun kemudian hasil revisi ini diterbitkan. Bahasa yang digunakan dalam edisi revisi ini adalah hasil revisi Gericke antara 1853-1855 yang ditinjau ulang oleh Roorda. Namun demikian, beberapa ahli berpendapat bahwa cetakan kedua ini tidak lebih baik dari yang pertama. Bahkan akhirnya Lembaga Alkitab Belanda (NBG), berencana untuk mencetak ulang edisi 1848 yang belum direvisi. 

 

Penerjemah ketiga P. Jansz   

 

Dalam bulan Agustus 1887, suami istri Jansz datang dan menetap di Surakarta. Di sana Jansz bekerja sama dengan R. Ng. Djojo Soepono untuk meninjau kembali bagian-bagian lain dari terjemahan Perjanjian Baru karyanya. Di sini Djojo Soepono bertugas memeriksa ulang naskah, membacakannya di depan orang-orang Jawa lain, dan selanjutnya membicarakan bagian-bagian yang sulit dimengerti.  Akhir 1888 terjemahan Perjanjian Baru itu sudah siap dicetak. Bukunya dicetak di Semarang atas biaya Lembaga Alkitab Inggris (BFBS), dan terbit tahun 1890 dalam 9 jilid lepas.  

 

Sementara itu, pada ahun 1889, BFBS memberi tugas Jansz menerjemahkan Perjanjian Lama. Terjemahan ini berhasil dicetak tahun 1893. Dua tahun kemudian terbit edisi revisi lengkap Alkitab karya Jansz dalam 15 jilid. Pada tahun 1896, Jansz dipensiunkan dengan hormat dari BFBS. Satu tahun setelahnya masih terbit revisi selanjutnya Perjanjian Baru hasil karyanya. Tahun 1904, Jansz meninggal. Namun, dua tahun kemudian masih terbit Alkitab hasil revisi Jansz yang terakhir yang terdiri dari 4 jilid. Terjemahan Jansz, lebih disukai masyarakat dari terjemahan Gericke. Jansz lebih condong untuk memindahkan makna yang terkandung dalam bahasa sumber daripada memindahkan kata per kata seperti Gericke. 

 

Terjemahan karya Jansz lebih disukai di kalangan warga Kristen Jawa, karena isinya mudah dimengerti. Tahun 1924, NBG memikirkan untuk merevisi Alkitab Jawa terjemahan Janz, dengan anggota tim: Hendrik Kraemer, teolog dan misionaris utusan NBG dan Pendeta D. Bakker, pendeta utusan di Jawa Tengah. Revisi sebagian besar dikerjakan D. Bakker dan sesudah kematiannya, dilanjutkan anaknya Dr. F.L. Bakker (nantinya menjadi pengajar di STT Jakarta). Kraemer bertindak sebagai peneliti dan pemeriksa naskah. Perjanjian Baru terbit pada tahun 1940, dan Alkitab lengkapnya baru terbit antara 1949-1950.

 

Revisi Alkitab Jawa oleh LAI 

 

Pada tanggal 1 hingga 2 Februari 1971 diadakan seminar tentang revisi Alkitab bahasa Jawa yang bertempat di Kaliurang, Yogyakarta. Jumlah peserta yang hadir dalam seminar tersebut 21 orang, termasuk 9 orang calon perevisi Alkitab bahasa Jawa. Tim perevisi diketuai oleh Pdt. Prof. Dr. R. Soedarmo, yang juga anggota Komisi Penerjemahan LAI. 

 

Sekilas mengenai Pdt. Soedarmo. Beliau adalah orang Jawa asli kelahiran Solo 4 Agustus 1914. Lulus AMS bagian sastra barat di Yogyakarta. Setelahnya beliau masuk Fakultas Teologi Vrije Universiteit di Amsterdam pada tahun 1938. Sekembali dari Belanda beliau menjabat sebagai dosen Sekolah Teologi di Yogyakarta. Selanjutnya beliau diangkat sebagai guru besar di dalam ilmu teologi  di STT Jakarta. Gelar doktor diperolehnya dari Vrije Universiteit

 

Seusai penyelenggaraan seminar tersebut, revisi Perjanjian Baru bahasa Jawa pun dimulai.  Meski kekurangan biaya menjadi salah satu masalah utama dalam mengerjakan proyek ini, namun para perevisi dan petugas lainnya tetap melakukan pekerjaannya dengan tekun dan lancar. Alkitab hasil revisi tim tersebut diterbitkan oleh LAI pada tahun 1981. Selain sebagai bacaan sehari-hari, Alkitab ini juga digunakan secara resmi dalam ibadah-ibadah di gereja-gereja pengguna bahasa Jawa, baik protestan maupun Roma Katolik. 

 

Sebelumnya, pada tahun 1980, Perjanjian Baru (PB) bahasa Jawa sehari-hari (bahasa Jawa padinan)yang menggunakan metode penerjemahan dinamis fungsional diterbitkan.Sekretaris Umum LAI  Ds. W.J. Rumambi menyerahkan PB  tersebut secara simbolis kepada wakil Gereja Katolik dan Gereja-gereja Protestan pengguna bahasa Jawa dalam suatu ibadah syukur di auditorium Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga tanggal 24 Mei 1980. Versi lengkap Alkitab bahasa Jawa dalam bahasa Jawa  sehari-hari (bahasa Jawa padinan) baru terbit 14 tahun kemudian pada 1994. Hanya saja Alkitab dengan versi bahasa Jawa sehari-hari ini jarang dipergunakan dalam peribadahan resmi di gereja dan hanya dipergunakan di kalangan pembacaan pribadi maupun kelompok-kelompok kecil. 

 

Revisi Perjanjian Lama Bahasa Jawa  sekarang

 

Seratus enampuluh sembilan tahun telah berlalu, sejak terjemahan Bruckner selesai dicetak dan diterbitkan. Pada awal milenium kedua, di permulaan tahun 2000, Lembaga Alkitab Indonesia bekerja sama kembali dengan lembaga-lembaga gerejawi pengguna bahasa Jawa mengerjakan Proyek Revisi Alkitab Bahasa Jawa. Bedanya jika di masa pertama, penerjemah dan pemeriksa ahlinya adalah orang-orang Belanda. Kini seluruh anggota tim yang terlibat adalah orang Indonesia asli. Kecuali konsultan penerjemahan dari LAI, semua anggota timnya bahkan orang Jawa. Hasil revisi Alkitab ini nantinya diharapkan menggunakan bentuk bahasa Jawa formal untuk penggunaan secara umum dan maupun dalam peribadahan. 

 

Awalnya, pada tanggal 6 hingga10 November 2000, diadakan lokakarya untuk Revisi Perjanjian Baru bahasa Jawa. Lokakarya diselenggarakan di kantor Sinode Gereja Kristen Jawa (GKJ) di Salatiga, Jawa Tengah. Dari lokakarya tersebut, terbentuk tim revisi Perjanjian Baru bahasa Jawa yang berasal dari perwakilan-perwakilan gereja pengguna bahasa Jawa dan dilengkapi dengan beberapa ahli dari berbagai latar belakang ilmu yang mendukung proyek penerjemahan tersebut. Tim tersebut kemudian bekerja keras merampungkan revisi terjemahan Perjanjian Baru bahasa Jawa. Akhir tahun 2007, proyek Revisi Perjanjian Baru bahasa Jawa sudah selesai dikerjakan. 

 

Konsultan Penerjemahan LAI, Pdt. Anwar Tjen, Ph.D, menyatakan, meskipun  sebagian anggota tim merupakan ahli atau orang lama yang sebelumnya mungkin telah berpengalaman mengerjakan proyek revisi Perjanjian Baru, lokakarya untuk Perjanjian Lama  harus tetap diadakan. Karena ada beberapa prinsip dasar dalam penerjemahan Perjanjian Lama yang agak berbeda dengan penerjemahan Perjanjian Baru. Misalnya, bahasa asli Alkitab untuk Perjanjian Lama adalah bahasa Ibrani sementara untuk Perjanjian Baru adalah bahasa Yunani koine. Selain itu ragam kitab Perjanjian Lama yang lebih banyak dan memiliki kekhasan tersendiri memerlukan kehati-hatian dalam penerjemahannya. 

 

Lokakarya Perjanjian Lama bahasa Jawa berlangsung pada tanggal 8-12 September 2008 di Salib Putih Salatiga. Lokakarya ini diikuti oleh peserta dari gereja-gereja berbahasa Jawa: GKJ, GKJW, GKJTU, GITJ, GKSBS dan termasuk Gereja Roma Katolik. Ini adalah gereja-gereja yang masih setia menggunakan bahasa Jawa dalam peribadahan mereka. 

 

Menyatukan para ahli dari berbagai denominasi untuk sebuah proyek besar tentu tidak selalu mudah, tapi tidak juga disebut sulit. Konsultan LAI, Pdt. Anwar menyatakan sudah ada modal awal, yaitu kebersamaan yang baik dalam menyelesaikan Perjanjian Baru. Pada lokakarya Perjanjian Lama sendiri sudah kelihatan bahwa tim ini nantinya akan solid dan akan mampu bekersama dengan baik. Pdt. Anwar menambahkan, “Diskusi biarpun seru, tidak pernah memancing emosi yang berlebihan. Senantiasa ada sopan santun yang baik. Ini merupakan modal yang baik.”

 

Menurut Pdt.Anwar, ada beberapa hal yang mendasari revisi Alkitab bahasa Jawa. Pertama, perkembangan bahasa Jawa yang telah banyak menyerap kata-kata baru dan ungkapan-ungkapan baru dari bahasa lain atau ada kata ataupun ungkapan yang pada saat ini mulai jarang dipakai. Kedua, dengan ditemukannya salinan-salinan naskah Alkitab yang lebih kuno, para penerjemah dimungkinkan mengerjakan terjemahan Alkitab yang lebih mendekati bahasa sumber. Ketiga, adanya pengertian yang lebih baik mengenai bahasa-bahasa Alkitab dan mengenai sifat-sifat bahasa. 

 

Untuk revisi penerjemahan Bahasa Jawa sendiri ada beberapa hal unik yang perlu diperhatikan. Menariknya adalah bahasa Jawa ini dalam menyebut nama Allah tidak bisa lepas dari nama “Gusti”. Apapun istilah untuk menyebut nama Tuhan, depannya harus didahului kata “Gusti”. Untuk ini penerjemah maupun peneliti harus berusaha mencari padanan nama yang tepat dengan bahasa asal Kitab Suci. Sementara itu, wakil-wakil penerjemah dari Gereja Katolik justru  intensif mendorong supaya mencari padanan kata Pangeran Yehuwah (yang dipakai pada Perjanjian Lama Jawa sebelumnya). Karena sesuai pesan Bapa Paus untuk menghormati kaum Yahudi yang tidak menyebut nama YHWH dengan sembarangan. 

 

Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah, penggunaan bahasa ngoko (sehari-hari) dengan kromo (halus). Misalnya dalam pembicaraan antara Yesus dan Pilatus. Dari segi kekristenan, Yesus adalah Tuhan, Pilatus bukan siapa-siapa. Sementara bagi kalangan awam yang memandang dari sudut sejarah biasa, Yesus dianggap sebagai rakyat biasa sementara Pilatus pemimpin pemerintahan. Dalam masalah ini apakah Yesus harus berbahasa kromo terhadap Pilatus atau sebaliknya? Atau sama-sama kromo? Atau sama-sama ngoko? 

 

Pendeta Suyitno Basuki, pendeta sekaligus budayawan yang anggota dari tim penerjemahan ini juga mengkritisi suasana dalam Kitab Nehemia edisi sebelumnya, di mana dalam suasana kemarahan pihak yang bertikai masih sempat menggunakan bahasa kromo. Lumrahnya orang marah tidak pernah menggunakan  bahasa kromo.

 

Revisi penerjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Jawa yang sekarang ini dilakukan paling tidak memiliki dua arti penting: melestarikan bahasa Jawa yang adalah salah satu warisan budaya Indonesia dan yang lebih utama agar firman Allah dapat dibaca oleh lebih banyak orang dengan bahasa yang dapat dimengerti.  Proses penyelesaiannya memang masih lama, namun mari kita dukung proses penyelesaian revisi, sehingga proyek ini dapat selesai tepat pada waktunya, dan hasil revisi terjemahan ini dapat segera digunakan oleh anak-anak Tuhan di Jawa.