Subronto Kusumo Atmodjo: Betapa Kita Tidak Bersyukur

Subronto Kusumo Atmodjo: Betapa Kita Tidak Bersyukur

 

Betapa kita tidak bersyukur,

bertanah air kaya dan subur;

lautnya luas, gunungnya megah,

menghijau padang, bukit dan lembah.

 

Reff:

Itu semua berkat karunia, 

Allah yang Agung Mahakuasa.

Itu semua berkat karunia, 

Allah yang Agung Mahakuasa. 

(Kidung Jemaat 337)

 

Siapa sangka lirik tersebut ditulis oleh orang yang baru disakiti hatinya oleh negara yang ia cintai dan junjung dalam nyanyian itu. Ia baru keluar dari penjara tahanan politik (tapol) di Pulau Buru. Selama tujuh tahun ia disekap tanpa proses pengadilan. Tidak ada bukti bahwa ia bersalah. Ia dituduh komunis. Selama tujuh tahun ia tersiksa. Akan tetapi, setelah itu ia malah menjunjung negeri yang menyiksanya itu. 

Orang itu adalah Subronto Kusumo Atmojo. Ia lahir di Tayu, Pati, Jawa Tengah, tahun 1929. Sejak kecil ia berminat pada musik. Sampai larut malam ia menonton latihan gamelan. Di SD dan SMP ia aktif dalam kegiatan senin suara. Ayahnya adalah pengusaha penggilingan padi dan pendana masjid.

Subronto masuk SMA di Semarang. Pada suatu hari ia lewat di depan sebuah gereja dan mendengar latihan paduan suara. Ia masuk dan bertanya,”Aku Muslim. Bolehkah aku ikut paduan suara ini?” Langsung ia bernyanyi di situ, bahkan yang paling antusias. 

Di Jakarta Subronto masuk Perguruan Tinggi Ilmu Jurnalistik. Minatnya tetap tertuju ke bidang musik. Setiap ada kesempatan ia berguru pada para komponis dan konduktor kawakan seperti Amir Pasaribu, Adhidarma Lie Eng Liong, Sudjasmin, dan lainnya. Ia bekerja di Siaran Kesenian, Studio RRI Jakarta. 

Kemudian selama tiga tahun Subronto belajar di Sekolah Tinggi Musik Hanss Eisler di Berlin, Jerman. Ia lulus cum laude dan kembali ke Jakarta Agustus 1965. 

Pada 30 September 1965 meletus peristiwa G30S. PKI dituduh merebut kekuasaan pemerintah. Orang-orang yang dianggap pro-PKI jadi sasaran kebencian. Subronto diciduk dan ditahan di Cijantung. Sebulan kemudian ia dilepas. Sejak itu ia dicap simpatisan PKI, dipecat dari pekerjaannya dan susah mencari pekerjaan apa pun. Ia menyambung hidup sebagai sopir bemo. 

Dua tahun kemudian pihak militer mengadakan “pembersihan” lagi. Para simpatisan komunis dijaring. Subronto ditangkap lagi. Pernah ia mendekam dalam sel 2x2 meter dengan orang yang juga dituduh komunis. Orang itu sangat suka menolong dengan penuh tenggang rasa. Subronto terkesan pada orang ini yang beragama Kristen. Subronto banyak bertanya tentang apa yang diperbuat dan diajarkan oleh Yesus. 

Tahun 1970, Subronto diangkut ke Pulau Buru. Di sana diam-diam ia meneruskan upayanya mempelajari Kristus sebagai teladan dan penyelamat hidup. Pada tanggal 27 April 1971 tanpa diketahui banyak pihak ia dibaptis menjadi pengikut Kristus. 

Setelah tujuh tahun didera oleh rupa-rupa penderitaan fisik dan mental, akhirnya Subronto bebas dan kembali ke Jakarta. Akan tetapi, penderitaan lain sudah menunggu, Pemerintah Soeharto meniupkan angina kebencian kepada para simpatisan komunis. Tidak ada lembaga atau perusahaan berani menerima para simpatisan komunis. Di mana-mana Subronto ditolak. Di KTP-nya ada kode ET, artinya Eks Tapol. 

Di tengah kebuntuan itu, tiba-tiba jalan terbuka. Subronto malah diundang bekerja di BPK Gunung Mulia sebagai editor buku musik. Dari situ ia berkontribusi juga bagi Yamuger dan STT Jakarta. 

Berbagai lokakarya musik gereja dipimpinnya. Sebagai pengajar dan penulis lagu Subronto dikenal karena sikapnya yang hening bening dan pola pikirnya yang cerdas cemerlang. 

Selama bekerja di BPK Gunung Mulia sedikitnya Subronto telah menciptakan 25 nyanyian gereja, 20 nyanyian tunggal dengan iringan piano, 3 kantata dan oratoria, dan puluhan aransemen. 

Karyanya “Betapa Kita Tidak Bersyukur” menggambarkan bagaimana sikap dan pola pikir Subronto yang selalu positif. Tidak ada rasa dendam kepada rezim yang menyiksa dia. Cintanya pada tanah air malah menguat. 

Perhatikan ragam dan tata kalimatnya,”Bagaimana mungkin kita tidak bersyukur mempunya Indonesia sebagai tanah air kita?” Ia merincinya sebagai tanah air yang kaya dan subur, yang lautnya luas, yang gunungnya megah, yang padang, bukit dan lembah hijau. 

Kesimpulan dibuat Subronto dalam refrain,”Itu semua berkat karunia Allah.” Refrein ini menjadi lebih indah jika saat menyanyikannya kita merasakan melodi pentatonik lagu ini. Pentatonik adalah not yang terdiri atas lima nada seperti pada gamelan. 

Pada bait ketiga Subronto seakan-akan melihat paduan warna Indonesia yang berbineka.  Pada aneka warna itu “cemerlang indah, jelita, damai dan teguh”. Jika kebinekaan aneka warna itu kita syukuri maka akan membawa Indonesia jaya dan teguh. Dan Subronto kembali mengajak kita semua mensyukuri semua karunia itu sebagai “berkat karunia Allah”.

Nyanyian ini bersumber pada Mazmur 136. Dari lima bagian Mazmur itu, Subronto mengacu pada bagian ke-1 (ayat 1-3), bagian ke-2 (ayat 4-9) dan bagian ke-5 (ayat 26). Perhatikan objek syukur yang diambil alih Subronto, yaitu “langit”, “bumi di atas air”, “matahari”, “bulan dan bintang-bintang” (ayat 5-9). Mazmur ini merupakan nyanyian bersahutan. Refreinnya berbunyi,”Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya” (di Alkitab versi BIMK “kasih-Nya kekal abadi) dan dinyanyikan sebanyak dua puluh enam kali. Mazmur syukur ini memang membekas pada diri Subronto. 

Karya-karya Subronto yang khas adalah lagu gereja bermelodi pentatonik. Pentatonik hanya terdiri atas lima nada, namun unik dan indah. Budaya yang mengenal melodi Pentatonik antara lain adalah budaya Jawa dan Tiongkok. 

Pengabdian SUbronto pada gereja juga ibarat pentatonik. Ia berkarya hanya lima tahun saja, namun unik dan indah. Ia bekerja lima tahun di BPK Gunung Mulia lalu terkena kanker otak dan meninggal pada usia 53 tahun. Hanya limat tahun, ibarat pentatonik, hanya lima nada. 

 

Dikutip dari:

Selamat Mengindonesia, Andar Ismail. BPK Gunung Mulia. 2019.