TODUNG SUTAN GUNUNG MULIA

TODUNG SUTAN GUNUNG MULIA

Tokoh Gereja, Menteri Pendidikan dan Pendiri Lembaga Alkitab

Mulia lahir tahun 1896 di Padang Sidempuan dalam keluarga yang gemar membaca buku. Ayahnya seorang guru. Kakeknya adalah orang Batak Angkola pertama yang menjadi Kristen. Mulia masuk SD berbahasa Belanda. Cita-citanya menjadi guru. Pada usia 15 tahun Mulia pergi ke Belanda melanjutkan ke sekolah menengah di Leiden sebagai persiapan untuk masuk ke Sekolah Pedagogi. Ia aktif di Gerakan Mahasiswa Kristen Belanda. Di situ ia berkenalan dengan Hendrik Kraemer, pakar linguistik, yang kemudian menjadi tokoh pekabaran Injil di Indonesia. Mulia dan Kraemer sepaham bahwa rakyat dan warga gereja Indonesia perlu diberdayakan agar bisa menjadi negara yang merdeka dan gereja yang mandiri.

Mulia lulus sekolah pedagogi Universitas Leiden pada usia 23 tahun dan langsung kembali ke Indonesia. Ia menjadi guru di SD Bengkulu. Kemudian di Sipirok. Juga di Simalungun, di mana ia berkenalan dengan seorang guru dan mereka kemudian menikah. Mereka berpindah-pindah ditempatkan di sekolah pemerintah atau sekolah Kristen yang perlu dibantu untuk meningkatkan mutunya. 

Pada tahun 1922, ketika Mulia baru berusia 26 tahun, ia pindah ke Jakarta karena diangkat menjadi anggota Volks Raad (Dewan Rakyat). Meskipun Mulia berkedudukan tinggi, namun pada setiap kesempatan ia tak segan-segan turun mengunjungi sekolah-sekolah di Jakarta dan pedalaman Sumatra untuk menatar para guru. Untuk jasanya meningkatkan mutu para guru, Mulia dianugerahi bintang Officier der Orde van Oranye Nasau, salah satu bintang kehormatan yang tertinggi dalam pemerintahan penjajah Belanda.

Mulia berdalil, "Sebuah bangsa hanya bisa maju kalau sekolah-sekolahnya bermutu. Demikian pula gereja hanya bisa maju kalau umatnya suka membaca buku." Dalam hubungan itu, pada tahun 1928 Mulia menjadi kepala redaksi surat kabar Kristen Zaman Baroe. Surat kabar itu memuat tulisan-tulisan yang memperluas wawasan iman dan meningkatkan rasa tanggung jawab bergereja dan bermasyarakat. 

Pada tahun 1928 Mulia mengikuti Konferensi Pekabaran Injil di Yerusalem. Banyak pemikir konferensi ini justru adalah kaum awam. Pada tahun 1928 Mulia mengikuti Konferensi Pekabaran Injil di seperti Mott, Oldham, dan Mulia (lih. Awam dan Pendeta – Mitra Membina Gereja).

Pada usia 33 tahun Mulia bersekolah lagi di Belanda. Hanya dalam waktu empat tahun ia meraih gelar Doktor Antropologi di Vrije Universiteit Amsterdam dan sekaligus lulus Meester in de Rechten di Universiteit Leiden. Sekembalinya di Indonesia Mulia diangkat lagi menjadi anggota Dewan Rakyat. Meskipun statusnya adalah wakil umat Kristen, namun ia menegaskan, "Tugas saya bukan hanya membela kepentingan golongan Kristen, melainkan kepentingan seluruh rakyat."

Mulia yakin bahwa perannya sebagai anggota Dewan Rakyat adalah juga dalam rangka pekabaran Injil. Tentang pekabaran Injil ia menulis, "Kita mendapat dari Kristus ... pedoman kehidupan. Tujuan pekabaran Injil adalah membentuk tabiat manusia supaya bersifat seperti Kristus dalam kehidupan dan pergaulan...."

Sementara itu, selama beberapa tahun Mulia dan Kraemer memprakarsai persiapan pembentukan sebuah sekolah yang bermutu untuk mendidik calon pendeta. Gagasan itu terlaksana pada tahun 1934 dengan pembentukan STT Jakarta. Mulia berkata, "Para pendeta perlu berpengetahuan akademik dan berjiwa nasionalis."

Tentang nasionalisme, Mulia sering memperbaiki anggapan yang keliru. Tulisnya, "Kelirulah anggapan bahwa menjadi Kristen berarti memeluk agama orang Eropa dan menjadi seperti orang Eropa. Kita tetap Indonesia!"

Mulia juga menulis, "Orang Kristen Indonesia adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia yang mencintai tanah air Indonesia. Iman Kristen mengajarkan kita untuk bersikap adil, lurus, cinta, dan setia pada bangsa dan negara Indonesia."

Mulia juga bekerja sama di bidang penerbitan buku untuk pembinaan iman dengan Johannes Verkuyl yang tiba di Indonesia tahun 1940. Gagasan ini kemudian terwujud dengan pembentukan Badan Penerbit Kristen pada tahun 1946. Untuk menghormati jasa-jasa Mulia, atas saran Verkuyl pada tahun 1971 BPK melengkapi namanya menjadi BPK Gunung Mulia (lih. "Johannes Verkuyl" di Selamat Berbuah).

Setelah kemerdekaan, kabinet parlementer terbentuk pada bulan Nopember 1945. Mulia menjadi Menteri Pendidikan. Ia memajukan sistem yang menanamkan nilai-nilai rasional, demokratis, dan nasional.Sebagai menteri, tiap hari ia bersepeda ke kantornya karena ia tidak punya mobil.

Sama seperti Mulia, seorang awam lain yang aktif dalam gerakan Oikoumene dan perjuangan kemerdekaan adalah Johannes Leimena. Mulia bersama Leimena dan beberapa pemikir lain mempersiapkan pembentukan satu wadah tunggal persekutuan semua gereja Protestan di Indonesia. Setelah persiapan matang selama sebelas tahun, pada tanggal 25 Mei 1950 di Aula STT Jakarta terbentuklah Dewan Gereja Indonesia (DGI) yang kini bernama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Todung Sutan Gunung Mulia menjadi ketua umumnya yang pertama.

Pada 1953, Mulia bersama Philip Sigar dan Yap Thiam Hien mendirikan Universitas Kristen Indonesia. Setahun kemudian, pada 9 Februari 1954, Mulia bersama Giok Pwee Khouw dan Elvianus Katoppo meresmikan berdirinya Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) yang sebenarnya sudah berfungsi sejak 1814 dalam bentuk cabang pembantu Lembaga Alkitab Inggris/Belanda. Di LAI, Todung Sutan Gunung Mulia merupakan Ketua Umumnya yang pertama. Saat impor Alkitab dari luar negeri dilarang oleh Presiden Soekarno, Mulia memikirkan perlunya LAI memiliki percetakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan Alkitab dan bacaan-bacaan rohani umat kristiani di Indonesia. Nantinya, pada 9 Februari 1966, Percetakan LAI di Ciluar, Kabupaten Bogor selesai dibangun dan diresmikan oleh Ibu Hartini Soekarno, mewakili Presiden RI. 

Ketekunan kerja Mulia tampak pula dalam kinerjanya menjadi editor Ensiklopedia Indonesia. Setelah beberapa tahun berjerih lelah bersama Hidding dari Universitas Leiden, terbitlah pada tahun 1956 tiga jilid lengkap terdiri atas 1.600 halaman. Penerbitan ini menjadi tonggak sejarah perbukuan Indonesia. Mulia juga menulis beberapa buku.

Mulia melakukan berbagai kiprahnya tersebut di atas sebagai panggilannya untuk menerangi umat gereja dan rakyat Indonesia. Hati dan akal budi kita perlu diterangi. Apa yang masih keruh dan belum gamblang perlu diterangkan. Apa yang masih kelam dan belum jelas perlu diterangi. Kita punya tugas untuk menerangi dan menerangkan.

Kristus berkata, "Kalian adalah terang dunia ... terangmu harus bersinar di hadapan orang, supaya mereka melihat perbuatan-perbuatanmu yang baik, lalu memuji Bapamu di surga" (Mat. 5:14-16, BIMK). Mulia telah menerangi dan menerangkan. Itulah sumbangsihnya bagi gereja dan bangsa Indonesia. Oleh sebab itulah, Mulia dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa oleh Vrije Universiteit di Amsterdam pada tanggal 20 Oktober 1966 dengan Verkuyl sebagai promotor.

Suasana di kapel saat itu sungguh khusyuk. Ada perasaan syukur bahwa Kristus telah memakai seorang hamba-Nya menjadi penerang bagi bumi Indonesia. Ada perasaan bangga bahwa seorang putra Indonesia mendapat pengakuan intelektual yang paling terhormat dari dunia akademik Belanda yang sudah mengakar sejak abad pertengahan.

Adelbert Sitompul, Poltak Sormin, dan saya menjadi saksi bukan karena kami sepantar dengan Mulia. Jauh dari itu. Melainkan karena kami adalah calon-calon guru yang terilhami oleh Mulia. Akan tetapi, tatkala rasa syukur dan bangga itu masih segar, tiba-tiba datang berita: Todung Sutan Gunung Mulia wafat di Amsterdam 11 November 1966. Dari Kristus terang itu datang, kepada Kristus terang itu pulang.



Dikutip dari:

Selamat Mengindonesia, Andar Ismail. BPK Gunung Mulia.