Seringkali dalam kisah-kisah yang terangkai pada drama maupun film di televisi kita mendapati sebuah penggambaran karakter manusia yang begitu hitam putih. Misalnya saja ada karakter yang digambarkan begitu jahat sampai-sampai dalam keseluruhan jalan cerita hanya tindakan-tindakan jahatnya yang dimunculkan, sementara sisi lainnya ditampilkan seseorang yang begitu baik hingga pasrah menerima segala sesuatu termasuk hal-hal yang jahat. Padahal dalam kehidupan nyata, manusia adalah pribadi yang kompleks. Di dalam dirinya ada kecenderungan untuk berbuat tidak baik tetapi pada sisi lainnya ia juga memiliki potensi untuk berbuat baik. Maka diperlukan hikmat dan kerendahan hati untuk memahami kompleksitas seseorang agar kita dapat berelasi dengan baik serta merespon dengan tepat.
Kita melihat kompleksitas tersebut juga nampak pada diri Elifas pada teks yang kita baca. Dalam bagian ini, Elifas mengklaim telah menerima wahyu ilahi melalui pengalaman mimpi yang menggetarkan jiwanya. Sebuah roh melintas di hadapannya dan memberikan pertanyaan retoris: “Mungkinkah seorang manusia benar di hadapan Allah, mungkinkah seseorang tahir di hadapan Penciptaan?” (Ayub 4:17). Pesan ini mengarah pada satu kesimpulan, manusia adalah makhluk yang rapuh, penuh kelemahan, dan tidak dapat menandingi hikmat serta kedaulatan Allah.
Elifas menggambarkan pengalaman rohaninya dengan detail yang dramatis. Ia merasa takut, tubuhnya gemetar, dan bulu kuduknya berdiri saat roh itu hadir. Pengalaman ini mencerminkan bagaimana manusia sering kali merasa tak berdaya di hadapan kekuatan yang lebih besar dari dirinya. Lalu, ia melanjutkan dengan mengatakan bahwa manusia tinggal di “pondok tanah liat yang dasarnya dalam debu” (Ayub 4:19), disandingkan dengan para malaikat yang bahkan dapat tersesat. Hal ini menegaskan bahwa jika para “makhluk surgawi” itu pun dapat tersesat, bagaimana dengan manusia yang fana, terbatas, dan hidupnya bisa berakhir kapan saja. Betapapun bijaksananya seseorang, ia tetap tidak dapat melampaui hikmat Allah (Ayub 4:21). Kerapuhan manusia yang seringkali mendatangkan derita. Maka bagi Elifas, di hadapan kenyataan tersebut manusia diundang untuk menjadi rendah hati serta tunduk pada-Nya.
Kita sungguh menyadari bahwa Elifas mungkin menggunakan kata-kata ini untuk menuduh Ayub, tetapi ada kebenaran mendalam di dalamnya: manusia harus menyadari keterbatasannya. Kita sering kali mencoba mengendalikan hidup kita sendiri, tetapi kita harus belajar berserah kepada Tuhan. Keberserahan inilah yang hendak ditawarkan Elifas pada Ayub, tetapi dengan cara menegaskan kebersalahannya.
Nasehat baik rupanya bisa muncul dari siapa saja, bahkan dari mereka yang seringkali berseberangan dengan kita. Mungkin ada baiknya kita dapat mengendalikan diri dengan baik, sehingga ketika mereka berbicara, kita tidak langsung menutup diri melainkan mencoba untuk mencerna perkataan-perkataan mereka dengan penuh kerendahan hati serta akal budi yang jernih. Tuhan bisa memakai siapapun untuk menegur serta mengingatkan kita bahkan dari pihak-pihak yang terlihat berseberangan dengan kita.