Allah yang direfleksikan dalam kesaksian orang-orang beriman di Alkitab menunjukkan Allah sebagai pribadi yang hidup. Ia mengundang umat-Nya untuk menjalin relasi dengan akrab dan mendialogkan seluruh pengalaman kehidupannya. Dengan demikian ungkapan atas relasi yang hidup tersebut juga tampil dalam beragam bentuk di Alkitab. Baik itu dalam puji-pujian kepada-Nya, kekaguman atas karya-Nya, pertanyaan-pertanyaan atas kehidupan, bahkan protes yang keras terhadap tindakan-Nya, diajukan dan dituliskan dengan begitu gamblang dalam Alkitab. Bukankah ini sesuatu yang mengagetkan? Sementara umat Kristen di Indonesia telah terbiasa dengan pengajaran bahwa terimalah segala sesuatu dari-Nya dan diamlah. Hal itu sangat berbeda dengan apa yang ditampilkan dalam Alkitab, termasuk seruan Ayub pada bacaan kita kali ini.
Ayub telah mengalami penderitaan yang teramat hebat. Segala sesuatu yang baik telah diambil darinya. Derita fisik dan juga mental merupakan realitas baru kehidupannya. Ayub menentang pendapat konservatif yang berkembang saat itu yang diwakili oleh pendapat sahabat-sahabatnya. Jika penderitaan itu datang maka sudah pasti hal tersebut adalah hukuman Tuhan karena kesalahan serta dosa yang diperbuat oleh manusia. Mati-matian Ayub menentang pendapat itu dengan menegaskan ketidakbersalahannya. Kini Ayub seperti mengajukan perkara dengan Tuhan. Ia menempatkan Allah sebagai sosok yang begitu kejam bahwa tidak segan-segan menyerangnya. Kekuatan tangan Allah disebutkan pada ayat 21 untuk menggambarkan kuasa Allah yang begitu luar biasa dan tidak dapat dijangkau oleh manusia.
Allah bahkan digambarkan Ayub memakai kekuatan-kekuatan alam untuk menyiksanya. Allah mengangkat Ayub menggunakan angin yang berada dibawah kuasa-Nya. Tujuannya adalah untuk menjatuhkannya dari tempat tinggi. Imajinasi metaforis akan kebinasaan yang telah berada begitu dekat dengan Ayub. Tinggal masalah waktu kematian menghampiri Ayub sebagai ujung terakhir dari nasib setiap makhluk hidup.
Ayub mempertanyakan semua yang menimpanya dengan disandingkan pada kejayaan masa lalunya. Menurut ajaran hikmat, cara hidup yang baik dan saleh mendatangkan kesejahteraan. Ayub merefleksikan hidupnya dan merasa bahwa pengajaran tersebut tidak terjadi padanya. Pada ayat 24-26, ia mengingat masa-masa jayanya dahulu dan belarasanya kepada sesama manusia. Namun, saat ia mengharapkan yang baik terjadi justru kejahatan yang datang. Ia mengharapkan terang, tetapi kegelapan lah yang muncul. Kepedihan hidupnya sungguh tak terperi. Sekalipun ia memainkan kecapi dan seruling untuk menjadi puji-pujian, justru kepedihan yang terpancar dari alat-alat musik itu.
Mungkin beberapa di antara kita merasa bahwa Ayub telah terlampau jauh dalam menanggapi penderitaannya. Seruannya kepada Allah nampak terlampau keras dan tidak pantas untuk diucapkan seorang ciptaan yang penuh dengan keterbatasan. Meskipun demikian kita justru melihat Allah yang memberi ruang baginya untuk mengungkapkan segala resah dan keluh kesahnya. Pada akhirnya Allah akan menyatakan diri-Nya, tetapi saat ini adalah kesempatan Ayub untuk bersuara. Itulah gambaran atas relasi yang hidup. Maka jika derita dan kesengsaraan tengah hadir dalam hidup kita, janganlah ragu untuk berseru kepada-Nya. Hal tersebut menandakan kepercayaan penuh kita kepada-Nya. Ingatlah bahwa hanya Allah yang dapat kita andalkan seutuhnya dalam segala situasi yang terjadi.