Relasi antar dua subyek mengandaikan keberadaan yang mandiri tetapi terdapat hubungan saling mempengaruhi di antara keduanya. Misalnya saja saat sahabat kita mengeluh dan bersedih, kita pun turut terpengaruh oleh emosinya serta merasakan kesedihan yang sama. Itulah empati dalam sebuah relasi. Hubungan Allah dan manusia rupanya berada dalam spektrum yang serupa. Allah menempatkan ciptaan-Nya sebagai subyek yang otonom dan menghargai keberadaan manusia seutuhnya. Ia memberi ruang bagi manusia untuk jujur terhadap dirinya sendiri, terutama saat diperhadapkan dengan berbagai tantangan dalam kehidupan.
Berbagai syair dalam kitab Mazmur mengungkapkan dinamika tersebut sehingga didapati syair-syair yang mengekspresikan kesukacitaan serta syukur umat Tuhan, tetapi terdapat pula keluhan-keluhan kepada Tuhan atas himpitan kehidupan yang tengah dialami. Mazmur 5 mengungkapkan keteguhan pemazmur atas keberadaan Allah yang Maha Adil. Maka dari itu di dalam kesesakan dan himpitan atas seteru-seterunya, pemazmur menghayati selalu penyertaan Allah yang dibangun di atas keadilan-Nya. Keyakinan itu nampak dalam ayat 5, “Sebab Engkau bukanlah Allah yang berkenan pada kefasikan; orang jahat takkan menumpang pada-Mu.” Mereka yang menikmati dosa serta melakukan ketidakbenaran, tidak memiliki tempat dalam hadirat-Nya.
Hal tersebut sangat berbeda dengan orang-orang benar yang senantiasa mengarahkan diri pada kehendak-Nya. Mereka bagaikan orang yang telah menemukan tempat perlindungan yang tepat. Sorak sorai umat-Nya muncul dari kesadaran akan Tuhan yang senantiasa akan memberkati orang-orang benar (ayat 13). Dengan demikian segala keluh kesah karena musuh yang merongrong dan ketidakadilan yang dihadirkan dunia, dijawab sendiri oleh pemazmur bahwa Tuhan menaungi selalu orang benar yang berlindung pada-Nya. Dalam keyakinan itulah seseorang dapat beroleh kekuatan dan melabuhkan pengharapannya.
Sahabat Alkitab, inilah saatnya kita berefleksi atas gumul juang kehidupan kita. Saat masalah demi masalah hadir, atau bahkan ketika ketidakadilan muncul mungkin kita merasakan berat dan himpitan yang begitu menyiksa. Tanpa sadar keluhan terucap dari bibir dan hati kita yang ditujukan kepada-Nya. Itulah penanda kejujuran hati kita. Namun dari kerapuhan itu Allah tidak pernah tinggal diam asalkan kita senantiasa melabuhkan pengharapan kepada-Nya. Ingatlah Dia Sang Maha Adil yang melihat keluh kesah umat-Nya. Semuanya itu dapat kita rasakan kala hati terarah pada-Nya serta hidup dalam relasi yang benar dengan-Nya.