Kemampuan untuk “membela diri” menandaskan otonomi dan kuasa seseorang atas dirinya sendiri. Perasaan tidak berdaya coba ditepis seraya mempertahankan apa yang menjadi kebenaran bagi dirinya sendiri. Pada bacaan kali ini tampak upaya Ayub untuk menunjukkan posisinya bahwa ia tidak bersalah. Hal tersebut dilakukan dengan mengingat jati dirinya yang sesungguhnya dan apa yang terjadi di masa lampau. Catatan tersebut bagaikan sebuah nota pembelaan yang disampaikan seorang terdakwa di pengadilan dan memang itulah penggambaran yang diperoleh dalam teks. Pada bagian bacaan kita kali ini, Ayub menyatakan dan membuktikan kesetiaannya kepada Tuhan dan ketaatannya pada prinsip-prinsip kehidupan yang dinyatakan Allah.
Kebijaksanaan kuno yang berkembang masa itu menegaskan bahaya ketamakan dalam kehidupan seorang manusia. Emas yang hanyalah logam berharga itu bisa mewujud menjadi “ilah” baru untuk disembah. Pada ayat 24-25, Ayub dengan tegas menyatakan sikapnya terhadap harta benda yang dimilikinya. Sebagaimana kita tahu, Ayub adalah seorang yang teramat kaya, meskipun demikian ia menolak untuk menyandarkan keamanan dan ketentramannya pada harta benda semata. Kekayaan sejati baginya adalah beroleh hikmat Tuhan semata.
Jika bangsa-bangsa lain terpana akan matahari dan bulan kemudian menjadikannya ilah-ilah penentukan kehidupan, Ayub sama sekali tidak terpengaruh pada tindakan penyembahan berhala tersebut. Menduakan Tuhan adalah salah satu hukum Tuhan yang sangat ditekankan sejak zaman Musa untuk tidak dilanggar. Sesulit apapun kehidupan, bagi Ayub hanya Allah sajalah yang patut disembah dan menjadi tempatnya bergantung.
Setelah menegaskan ketegasannya untuk tetap menyembah Allah dan tidak menduakan-Nya baik itu dengan harta benda atau dewa-dewa lain, Ayub beralih pada pernyataan tentang perlakuannya kepada orang lain. Ia tidak pernah sekalipun bersukacita atas kemalangan yang hadir di hidup orang lain, sekalipun itu musuh-musuhnya. Ayub tidak ingin mengucapkan dosa atas kutuk terhadap orang lain. Kepada orang-orang asing dan para musafir, Ayub memberikan tumpangan. Mereka tidak dibiarkan terlantar, sesuai dengan norma dan nilai yang berkembang di timur tengah kuno pada masa itu.
Sahabat Alkitab, pernyataan-pernyataan Ayub ini mengingatkan kita untuk senantiasa hidup benar seturut dengan hikmat dan tuntunan-Nya. Dalam derita yang dialaminya, Ayub kembali mengingat akan hidupnya yang lurus serta senantiasa mempertahankan hukum-hukum-Nya. Apa yang dilakukannya itu menjadi semacam bukti-bukti untuk diajukan kepada-Nya dan menolak pandangan sahabat-sahabatnya bahwa ia tertimpa derita karena hukuman atas dosa-dosanya. Kapankah seruan itu akan didengarkan-Nya? Semuanya telah berada dalam hikmat dan kebijaksanaan Tuhan semata. Namun, motivasi kita untuk menjadi orang-orang benar bukanlah karena imbalan yang akan kita dapat, melainkan syukur atas karya cipta dan cinta Tuhan yang terus teranyam dalam hidup kita.