Integrasi antara ibadah yang penuh dengan simbol serta ritual dengan hidup yang bijak serta penuh kebajikan adalah tema dalam Mazmur pasal 50. Pada ayat 1-15, Allah mengajak umat untuk merenungkan bahwa hanya Allah sajalah yang memiliki semesta. Ia yang berkuasa mengatur jalannya semesta. Tidak ada satupun yang dapat mengatur Allah. Jika umat diperintahkan untuk beribadah serta mempersembahkan segala kurban, hal tersebut bukanlah sebuah prasyarat agar Allah memberkati manusia. Justru dari kurban persembahan tersebut Allah mengajarkan manusia untuk terhubung dan senantiasa berelasi dengan-Nya. Allah menginginkan agar manusia berada dalam relasi yang benar dengan-Nya yang dilandasi oleh syukur. Situasi tersebut menghantar umat untuk merasakan kebaikan Allah yang meluputkan kita dari bahaya dan panggilan untuk selalu memuliakan-Nya (ay. 15).
Pada akhirnya kita melihat bahwa Tuhan ingin agar umat Israel menghayati bahwa penyembahan kepada Allah harus dilandasi oleh hati yang senantiasa mensyukuri karya Allah yang telah menganugerahkan keselamatan kekal. Sikap hati itulah yang membedakan umat-Nya dengan orang-orang fasik. Pemazmur menyoroti tindak tanduk orang fasik dalam ayat 16-23. Rupanya rasa syukur kepada Allah mengubah orang beriman dalam berkata-kata dan bertingkah laku. Orang-orang fasik tidak lagi mengingat Allah dan tidak mempersembahkan kurban syukur maka dari itu mereka menjalani hidupnya hanya berlandaskan hawa nafsu semata. Mereka melupakan Allah dengan mengesampingkan firman-Nya. Hidup mereka dekat dengan kekejian atau hal-hal yang salah secara moral. Bahkan mereka memfitnah orang lain dengan mudahnya. “Allah telah berdiam diri”, menurut orang fasik itu tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah Allah berperkara dengan orang-orang itu.
Sahabat Alkitab, firman Tuhan pada saat ini mengingatkan kita untuk membangun hidup yang bijak dan bajik dengan berlandaskan relasi yang benar dengan-Nya. Relasi itu diteguhkan melalui ibadah serta doa kita sehari-hari, yang pada akhirnya memperbarui kata-kata serta tindakan kita. Bukankah di negeri ini kita seringkali melihat sebuah ironi yang menggejala di berbagai agama? Tempat-tempat ibadah penuh saat waktunya untuk beribadah, tetapi kasus-kasus pelanggaran moral merebak dengan suburnya. Orang sibuk dengan dirinya sendiri tanpa mempedulikan sesamanya. Marilah mewujudkan hidup yang senantiasa bersyukur dengan cara mengintegrasikan ibadah serta tingkah laku kita sehari-hari.