Setiap orang memiliki caranya sendiri untuk mengekspresikan syukur. Ada yang merayakannya dengan pesta sederhana, ada yang menuliskannya dalam doa syukur, ada pula yang merenungkannya dalam keheningan. Bagi sebagian orang, bahkan peristiwa sulit pun dapat menjadi alasan untuk bersyukur, karena di situlah ia merasa imannya dimurnikan. Pemazmur mengajak kita melihat bahwa syukur sejati bukanlah respons spontan atas kenyamanan, melainkan kesadaran yang lahir dari perjalanan panjang bersama Allah: saat diuji, dituntun, bahkan ditegur.
Pemazmur mengakui bahwa Allah sendiri yang “menguji dan memurnikan” umat-Nya bagaikan orang yang memurnikan perak (ayat 10). Ujian tidak dipahami sebagai hukuman semata, melainkan proses formasi iman. Seperti halnya Israel di padang gurun yang mengalami lapar, haus, dan kerapuhan, semua itu menjadi ruang di mana Allah membentuk mereka menjadi umat yang kudus dan tangguh. Dengan demikian, penyelamatan Allah bukan hanya soal pembebasan dramatis dari Mesir, tetapi juga bimbingan, koreksi, dan kesabaran di tengah perjalanan panjang.
Di bagian berikut (ayat 13–15), pemazmur membawa kurban syukur ke rumah Allah. Ia membawa persembahan yang terbaik (bukan sisa-sisa) dan menyampaikan kesaksian di depan umat. Dari sini kita melihat bahwa ungkapan syukur bukan hanya urusan vertikal dengan Allah, tetapi juga horizontal, ia menceritakan kebaikan Allah kepada orang lain. Dengan demikian, manusia menemukan dirinya bukan hanya dalam menerima, tetapi juga dalam memberi kesaksian. Relasi dengan Allah tidak pernah terbatas; justru selalu mengalir dan tercermin dalam interaksi dengan sesama. Namun pemazmur juga menginsafi kelemahan diri, “Seandainya ada niat jahat dalam hatiku, Tuhan pasti tidak mau mendengar” (ayat 18). Kalimat ini mengingatkan bahwa relasi dengan Allah tidak sederhana. Ia tidak bisa diperlakukan secara mekanis—seolah cukup berdoa lalu semua berjalan lancar. Relasi dengan Allah, seperti halnya relasi antar manusia, penuh dinamika: ada kasih, ada teguran, ada misteri yang tak selalu mudah dipahami. Pemazmur mengajak kita untuk menerima kerumitan itu, sambil tetap berpegang pada kasih setia Allah yang mendengar doa dan memberi kasih-Nya.
Sahabat Alkitab, syukur sejati bukanlah kata-kata manis setelah pergumulan usai, melainkan kesadaran yang lahir dari proses dimurnikan. Seperti perak yang dimurnikan, iman kita dibentuk melalui segala dinamika kehidupan. Pertanyaannya, sudahkah yang terbaik kita berikan sebagai ungkapan syukur? Bukan hanya lewat doa atau persembahan, melainkan juga lewat kesaksian hidup: bagaimana kita memperlakukan sesama, menjaga ciptaan, dan menata hidup dengan integritas. Di zaman yang serba cepat ini, mari berhenti sejenak dan bertanya, adakah syukur kita hanya di bibir, ataukah benar-benar menjadi kesaksian yang hidup?