Mazmur 66 dibuka dengan seruan, “Bersorak-sorailah bagi Allah, hai seisi bumi” (ayat 1). Pujian ini bukan sekadar ungkapan pribadi, melainkan perayaan kolektif yang mengundang seisi dunia untuk terlibat. Syukur kepada Allah tidak berhenti di dalam hati, tetapi mengalir keluar, menjadi kesaksian yang dapat dilihat dan didengar. Perayaan kolektif itu dibentuk berdasarkan satu kesamaan yakni sejarah masa lampau yang mengikat mereka sebagai satu bangsa, sesama umat beriman kepada Allah. Jikalau orang-orang Indonesia sering mendengar ungkapan “jangan sekali-kali melupakan sejarah” (jas merah), maka pemazmur membawa ingatan atas sejarah tersebut sebagai pemantik gambaran yang utuh akan Allah.
Sejarah sendiri bukanlah sekadar rangkaian peristiwa acak, melainkan panggung besar di mana makna dan kebebasan dinyatakan melalui proses yang sering kali penuh benturan. Bahkan penderitaan dan konflik pun pada akhirnya diarahkan menuju tujuan yang lebih tinggi. Kisah Allah yang membelah laut dan memimpin umat-Nya menyeberangi sungai (ayat 6) menegaskan bahwa sejarah manusia tidak pernah berdiri sendiri, melainkan ditata oleh intervensi ilahi. Dari kesadaran inilah lahir syukur yang sejati: hidup bukan hanya hasil perjuangan pribadi, melainkan bagian dari narasi besar di mana Allah berkarya. Mengucap syukur berarti mengakui bahwa sejarah pribadi dan sejarah umat saling bertemu dalam karya Allah. Lebih jauh, Mazmur 66 memperlihatkan bagaimana momen sejarah (pembebasan Israel) diangkat menjadi memori sakral yang dirayakan lintas generasi. Umat yang hidup ratusan tahun setelah peristiwa eksodus pun berkata, “marilah kita bersukacita karena Dia” (ayat 6). Bersyukur, dengan demikian, berarti melampaui batas waktu: menghidupkan kembali jejak-jejak sakral dan menjadikannya kesaksian yang terus relevan di masa kini.
Sahabat Alkitab, ucapan syukur yang otentik tidak pernah berhenti sebagai perasaan batin. Ia harus menjelma menjadi kesaksian: dalam persekutuan, dalam keseharian, dalam kepedulian terhadap sesama dan ciptaan. Bersyukur berarti juga bersaksi—menceritakan kebaikan Allah, menjaga kehidupan yang dianugerahkan-Nya, dan ikut serta dalam liturgi kosmik bersama seluruh ciptaan. Maka, seperti pemazmur, marilah kita mengupayakan syukur yang hidup: syukur yang dilihat orang lain sebagai tanda nyata bahwa Allah masih berkarya, menjaga, dan memelihara. Dengan demikian, kita tidak hanya berkata, “Terima kasih, Tuhan,” tetapi juga berkata kepada sesama, “Lihatlah, inilah karya-Nya dalam hidupku.”