Apakah yang mendasari kita tetap beribadah dan menyembah-Nya? Pertanyaan tersebut nampak sederhana, tetapi sebenarnya menyibakkan sebuah hal paling mendasar dari hidup beriman kita. Disadari atau tidak, umat beragama seringkali terjebak dalam relasi transaksional dengan Allah. Kita beribadah, melakukan disiplin rohani, hingga menaati firman-Nya, hanya untuk mendapatkan balasan atas apa yang kita mintakan kepada-Nya. Sementara saat apa yang kita minta tidak terwujud, muncullah keengganan untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah atau bakti kita kepada Allah seharusnya didasarkan pada ketakjuban dan iman atas kasih serta perbuatan-Nya. Ia telah menyatakan keadilan serta kebaikan-Nya sepanjang masa, sekalipun kehidupan seringkali tidak baik-baik saja.
Pemazmur mengajak umat Allah di sepanjang zaman untuk melihat kesetiaan, juga keadilan Allah. Itulah dasar yang menopang seluruh keberadaan dunia. Bangsa yang berbahagia adalah bangsa yang menanggapi kasih Allah dengan sorak-sorai. Mereka adalah bangsa yang tahu memuji dan beribadah kepada Allah dengan benar. Pujian serta ibadah itu lahir dari Sang Sumber Sukacita itu sendiri yakni Allah. Cahaya wajah Tuhan mengiringi bangsa yang tahu beribadah serta menyembah Allah dengan benar. Metafora itu menunjukkan perkenanan Allah kepada bangsa yang dekat dan tahu beribadah dengan benar kepada-Nya.
Kekuatan bangsa-bangsa berasal dari Allah semata. Jika bangsa-bangsa dipuji karena raja mereka, tetapi Israel dipuja karena Allah. Bahkan sang raja Israel yakni Daud diakui sebagai milik Allah. Menegaskan sebuah hubungan perjanjian yang kudus antara Allah dan raja.
Maka marilah kita menjalani kehidupan ini berlandaskan ingatan akan kasih setia-Nya serta dilandasi oleh ibadah yang benar kepada Allah. Sebuah tindakan yang lahir dari kesadaran akan kemahakuasaan Allah, ketaatan, serta keadilan-Nya bukan karena kita menginginkan sesuatu dari-Nya. Allah saja lah yang memiliki semesta. Segala sesuatu terjadi seturut dengan hikmat-Nya yang menuntun semua orang percaya, bahkan para raja sekalipun.
