Kita hidup di masa ketika banyak orang mulai putus asa karena lelah berharap. Janji perubahan sering tak sejalan dengan kenyataan, doa terasa menggantung di udara, dan keadilan tampak seperti kata yang kehilangan pesan. Dalam suasana seperti itu, pertanyaan pemazmur terasa sangat dekat, “Tuhan, di mana janji-Mu?” Pertanyaan ini bukan tanda hilangnya iman, tapi tanda kejujuran batin yang sedang berjuang. Seperti pemazmur, kita pun tahu bahwa percaya pada Allah bukan berarti segalanya berjalan mudah. Justru kadang iman diuji di saat semua hal tampak bertolak belakang dengan janji-Nya.
Mazmur 89 adalah potret iman yang terluka tapi tetap setia. Setelah memuji kasih dan janji Tuhan kepada Daud, pemazmur tiba-tiba menumpahkan kekecewaan: tembok kota runtuh, musuh bersukacita, dan kemuliaan kerajaan hancur. Ia merasa Tuhan sendiri yang membiarkan semuanya terjadi. Secara historis, mungkin ini lahir dari masa kehancuran kerajaan Israel. Tapi secara emosional, ini adalah pengalaman yang sangat manusiawi, saat harapan kita terasa kosong, dan Tuhan seolah diam. Pemazmur tidak menyangkal Allah, ia justru memanggil-Nya dengan jujur. Apa yang dilakukan pemazmur merupakan pergulatan iman yang dewasa: berani mengakui luka, tapi tetap mencari kehadiran Tuhan di tengahnya. Karena sesungguhnya, kesetiaan bukan berarti tak pernah kecewa, melainkan tetap bertahan meski kecewa.
Di bagian akhir, pemazmur menutup doanya dengan satu kalimat sederhana tapi penuh makna, “Terpujilah TUHAN untuk selama-lamanya!” (ay. 53). Ini bukanlah pujian yang naif, tapi pujian yang lahir dari hati yang telah melewati badai. Ia belum melihat janji itu tergenapi, tapi ia percaya Allah masih bekerja di balik layar waktu. Mazmur ini mengajak kita untuk meyakinkan diri sendiri bahwa, “Aku belum paham semua rencana Tuhan, tapi aku memilih tetap percaya.” Inilah keberserahan yang sejati, bukan pasrah tanpa daya, tapi percaya dengan harapan. Dalam dunia yang serba cepat dan instan, pemazmur mengajak kita melihat bahwa menanti janji Tuhan justru menjadi ruang di mana iman belajar bertumbuh dan mengakar.
























