Di awal November ini, linimasa media sosial ramai dengan konten: “November, please be nice.” Ungkapan tersebut tampak ringan, tapi di baliknya tersembunyi nada lelah, keinginan agar waktu berjalan sedikit lebih lembut dari bulan sebelumnya. Nampaknya ini bukan sekadar tren, melainkan gema dari keletihan kolektif, seruan samar manusia modern yang merasa jauh dari kedamaian, bahkan dari dirinya sendiri.
Suara yang sama kita dengar dalam Mazmur 102, “TUHAN, dengarkanlah doaku, dan biarlah teriakku minta tolong sampai kepada-Mu.” Pemazmur tidak menyembunyikan kepedihan. Ia menggambarkan hari-harinya yang lenyap seperti asap, tulang yang membara seperti perapian, dan hati yang layu seperti rumput. Doanya adalah jeritan yang bukan lagi untuk mencari jawaban, tetapi kehadiran. Selanjutnya pada ayat 7–8 pemazmur menghadirkan dua citra yang kuat, bahwa dirinya menyerupai burung undan di padang gurun, dan seperti burung pungguk di reruntuhan. Burung undan seharusnya hidup di lahan basah, namun kini tersesat di padang gurun; burung pungguk biasanya bertengger di hutan, tetapi kini di reruntuhan. Keduanya kehilangan habitat, seperti jiwa yang tak lagi tahu di mana “rumahnya”. Inilah pengalaman teralienasi, ketika seseorang merasa tidak cocok lagi di tempat yang seharusnya ia miliki, ketika dunia yang dulu memberi makna kini terasa asing.
Seorang psikolog eksistensialis, Rollo May, menyebut alienasi sebagai “the sickness of our time” atau penyakit zaman ketika manusia kehilangan relasi dengan dirinya, sesama, dan Tuhan. Pemazmur mengalami hal itu berabad-abad sebelum istilah psikologis itu muncul. Ia merasakan dislokasi spiritual. Allah tampak jauh, doa seolah terpantul di langit tertutup, sementara tubuhnya ikut merana. Namun yang menarik, di tengah semua itu, ia tetap berdoa. Ia masih menyapa, masih berharap didengar. Di tengah penderitaan, manusia masih bisa memilih caranya untuk menghadapi penderitaan itu. Pemazmur memilih untuk tidak membungkam hatinya. Ia membiarkan rasa sakit menjadi bahasa doa. Maka, perasaan teralienasi bukan tanda kurang beriman, melainkan bentuk kejujuran iman. Iman yang jujur tidak selalu berbicara dengan nada syukur, kadang ia bergetar dalam nada ratap.
Sahabat Alkitab, dalam dunia yang terus bergerak cepat, mungkin kita pernah merasa seperti burung pungguk yang terbang di antara ‘reruntuhan’. Namun Mazmur hari ini mengajarkan bahwa kejujuran di hadapan Allah adalah awal dari pemulihan. Tidak ada pemulihan tanpa pengakuan akan keterasingan. Kadang, langkah pertama menuju hadirat Allah justru dimulai dari keberanian mengakui bahwa “Aku merasa jauh.” Mungkin itu sebabnya seruan “November, please be nice” terasa begitu relevan. Di balik kalimat sederhana itu ada doa yang sama, “Tuhan, dengarkanlah doaku, jangan sembunyikan wajah-Mu terhadap aku.” Maka, ketika perasaan teralienasi itu muncul, janganlah terburu-buru menghakimi dirimu dengan tuduhan kehilangan iman. Karena, sesungguhnya di saat yang sama, kita sedang berdiri di ambang pintu doa, menemukan bahwa Allah masih sudi mendengar suara yang lemah sekalipun.





















