Dalam kehidupan ini, adakalanya kita berada dalam persimpangan jalan kehidupan. Satu jalan menawarkan popularitas, keuntungan cepat, dan pencapaian yang memukau di mata manusia. Jalan lain mengajak kita untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang kita imani. Hidup yang jujur, setia, dan menjaga hati bersih meskipun konsekuensinya tidak selalu menguntungkan secara duniawi. Banyak orang akhirnya hanyut dalam trend sosial: pura-pura kuat agar dihormati, pura-pura bahagia agar terlihat sukses, pura-pura baik agar dianggap saleh. Hingga suatu ketika kita bertanya, Apakah aku masih mengenali diriku sendiri?
Mazmur 119:29–40 menunjukkan suara hati seorang yang bergumul untuk tetap jujur. Bagian ini mengikuti pola sebelumnya dengan syair yang dimulai dari huruf Dalet dan He dalam alfabet Ibrani, menggambarkan kehidupan sebagai perjalanan. Pemazmur pernah merasakan kehidupan yang membuatnya jatuh sampai “rebah dalam debu” (ay. 25), perasaan hancur yang juga sering kita alami dalam tekanan hidup. Namun, justru dari titik itu ia belajar bersandar sepenuhnya kepada firman Tuhan sebagai kekuatan dan kompas kebenaran. Ia memohon, “Jauhkanlah jalan dusta dariku” (ay. 29). Jalan dusta bukan hanya kebohongan yang kita ucapkan, tetapi segala bentuk hidup yang tidak autentik: hidup menipu diri sendiri, menutup-nutupi luka, mengejar ambisi yang mencederai martabat orang lain. Pemazmur memilih “jalan kebenaran” (ay. 30), karena ia tahu hanya di sanalah manusia menemukan damai dan hidup yang kokoh.
Sahabat Alkitab, di tengah zaman yang mengejar keuntungan tanpa batas, pemazmur mengingatkan bahwa kekayaan tidak mampu menjamin rasa aman. Hanya keadilan dan kebenaran Tuhan yang mampu menegakkan kehidupan yang utuh. Seorang beriman bukan hanya ingin tahu firman Tuhan, tapi ia menyukainya, menghayatinya, dan menaatinya dengan sepenuh hati. Mazmur ini menegur sekaligus menguatkan kita, bahwa kejujuran bukanlah kelemahan, melainkan keberanian. Hidup jujur berarti berani memilih jalan Tuhan meski itu tidak selalu menguntungkan secara perhitungan manusiawi kita, berani mengakui kelemahan sambil tetap berharap, dan berani setia pada nilai yang kekal di tengah dunia yang cepat berubah. Kiranya Tuhan memampukan kita berjalan di jalan kebenaran-Nya setiap hari.
























