Ada saat-saat ketika kita merasa lelah bukan karena terlalu banyak bekerja, melainkan karena terlalu banyak mendengar kata-kata yang melukai. Ujaran kebencian, bisik fitnah, dan kalimat yang dipelintir menjadi bagian dari keseharian kita. Kata-kata yang seharusnya menjadi jembatan justru berubah menjadi tembok. Di tengah suasana seperti itu, kita merasa terasing, seolah hidup di tempat yang tidak ramah bagi kejujuran dan ketulusan. Mazmur 120 lahir dari pengalaman serupa: dari hati seorang peziarah yang dikelilingi bibir dusta, tapi tetap menyimpan kerinduan akan damai.
Mazmur ini membuka rangkaian Nyanyian Ziarah, seakan mengingatkan bahwa perjalanan iman sering dimulai dari kesadaran akan luka. Pemazmur berseru dalam kesesakan, tetapi seruannya bukan teriakan kosong. Ia mengingat bahwa Tuhan telah mendengar dan menjawab di masa lalu. Ingatan iman itulah yang menopang langkahnya hari ini. Ia tidak menyangkal kepahitan kata-kata yang menindas, tapi ia juga tidak membiarkan kepahitan itu menentukan arah hidupnya. Ia membawa luka itu ke hadapan Allah, sumber kebenaran yang tidak berubah.
Dalam Mazmur 120, lidah digambarkan sebagai senjata. Kata-kata dapat menusuk lebih dalam daripada anak panah, dan kebohongan dapat membakar lebih lama daripada bara api. Pemazmur tidak mencoba membalas dengan senjata yang sama. Ia menyerahkan penghakiman kepada Allah, percaya bahwa tidak ada dusta yang luput dari perhatian-Nya. Di sini kita belajar bahwa iman tidak selalu berarti menjelaskan atau membela diri, melainkan mempercayakan kebenaran hanya kepada Allah.
Ketika pemazmur menyebut Mesekh dan Kedar, ia sedang menggambarkan dunia yang jauh dari shalom, dunia yang terbiasa dengan pertikaian dan curiga terhadap damai. Namun di tengah dunia seperti itu, ia berani berbicara tentang damai. Damai yang bukan sekadar tidak bertengkar, melainkan keutuhan batin, ketenangan yang lahir dari hidup yang terikat pada Allah.
Sahabat Alkitab, Mazmur 120 mengajak kita memilih jalan yang tidak populer, yaitu melawan dusta dengan damai. Bukan dengan diam yang pahit, bukan pula dengan kata-kata yang sama tajamnya, melainkan dengan hati yang tetap utuh. Menjadi pembawa damai di dunia yang bising adalah sebuah ziarah batin, langkah demi langkah, menuju Allah yang setia, sambil membawa shalom ke ruang-ruang publik yang paling membutuhkannya.
























