Ada perbedaan besar antara datang ke ibadah karena kewajiban dan melangkah ke ibadah dengan hati yang bersukacita. Yang pertama sering terasa berat karena sekadar rutinitas, yang kedua mengandung kerinduan, seperti seseorang yang pulang setelah lelah bekerja atau melakukan perjalanan. Pengalaman inilah yang diungkapkan pemazmur dalam Mazmur 122. Ia tidak berkata, “Aku datang karena harus,” melainkan, “Aku bersukacita, ketika dikatakan kepadaku, Mari kita pergi ke rumah TUHAN”. Ketika sukacita mendahului ibadah; ibadah bukan lagi sebuah beban, melainkan tujuan.
Mazmur 122 adalah Nyanyian Ziarah ketiga, dinyanyikan oleh seorang peziarah yang akhirnya tiba di Yerusalem. Setelah kegelisahan di Mazmur 120 dan keyakinan akan penjagaan Tuhan dalam Mazmur 121, kini perjalanan mencapai titik lokasi. “Sekarang kaki kami berdiri di pintu gerbangmu, hai Yerusalem.” Kalimat ini menangkap momen perhentian: lelah perjalanan masih terasa, tetapi hati dipenuhi kegembiraan karena telah sampai di tempat hadirat Tuhan dinyatakan.
Yerusalem dirayakan bukan semata sebagai kota, melainkan sebagai simbol kehidupan yang tertata. Kota itu digambarkan “erat terpadu”, sebuah metafora tentang keamanan dan keutuhan. Dalam dunia yang penuh perpecahan, ibadah menjadi ruang di mana hidup yang tercerai-berai dipersatukan kembali. Di Yerusalem, suku-suku Israel berkumpul untuk bersyukur kepada nama TUHAN. Ibadah, dengan demikian, selalu bersifat komunal: iman pribadi menemukan maknanya ketika dihidupi bersama.
Namun sukacita beribadah tidak berhenti pada pujian. Mazmur ini juga menyinggung “kursi-kursi pengadilan” dari keluarga Daud. Ibadah sejati selalu berkaitan dengan keadilan. Sukacita di hadapan Tuhan tidak terpisah dari tanggung jawab untuk mengupayakan keteraturan, kebenaran, dan kesejahteraan bersama. Damai (shalom) yang dirindukan Yerusalem bukan ketenangan yang bersifat pasif, melainkan kesejahteraan yang lahir dari hidup yang adil dan selaras dengan kehendak Allah.
Bagian akhir mazmur berubah menjadi doa: “Kiranya damai sejahtera ada di lingkungan tembokmu. dan kesentosaan di dalam puri-purimu” (Mazmur 122: 7). Pemazmur menginginkan damai bagi kota itu demi saudara, sahabat, dan rumah TUHAN. Ibadah yang penuh sukacita selalu meluap menjadi doa bagi sesama dan komitmen bagi kebaikan bersama.
Sahabat Alkitab, hari ini kita kembali ditantang untuk menata ulang makna ibadah. Apakah ibadah masih menjadi sumber sukacita, atau sekadar rutinitas? Ketika ibadah dipahami sebagai perjumpaan dengan Allah yang menghadirkan damai dan membentuk keadilan, hati akan kembali menemukan kegembiraannya. Sukacita beribadah bukanlah emosi sesaat, melainkan kesadaran bahwa hidup kita diarahkan menuju hadirat Tuhan, tempat di mana kita dipulihkan, dipersatukan, dan diutus kembali untuk membawa shalom ke dunia.
























