Ada masa dalam hidup ketika luka tidak datang dari serangan fisik, melainkan dari tatapan meremehkan, komentar sinis, atau ejekan halus yang terus diulang. Pengalaman seperti ini secara perlahan mengikis batin. Kita tidak jatuh seketika, tetapi lelah, jenuh, dan merasa kecil. Dalam keadaan demikian, Mazmur 123 memberi bahasa doa yang jujur: bukan teriakan marah, melainkan tatapan yang terangkat ke atas.
Mazmur 123 adalah Nyanyian Ziarah keempat, dilantunkan setelah para peziarah tiba di Yerusalem. Menariknya, setelah sampai di kota kudus, doa yang pertama-tama muncul justru bukan perayaan, melainkan keluhan. Pemazmur, mula-mula sebagai individu, lalu sebagai komunitas, mengaku bahwa mereka “kenyang” oleh penghinaan orang-orang yang merasa aman dan sombong. Namun respons mereka bukan membalas atau membuktikan diri, melainkan mengarahkan mata kepada Tuhan yang bersemayam di surga. Mereka memandang Tuhan seperti hamba memandang tangan tuannya: menunggu kemurahan, bukan mengandalkan kekuatan sendiri.
Pemazmur mencoba mengalihkan pusat perhatiannya, dari sumber luka kepada sumber pemulihan. Dengan demikian, mazmur 123 mengajarkan kepada kita bahwa pemulihan luka batin sering kali dimulai bukan dengan perubahan situasi, tetapi dengan perubahan arah pandang. Kita mengakui rasa sakit, tetapi tidak membiarkannya menentukan arah hidup.
Mazmur 124 melanjutkan doa itu menjadi kesaksian, “Sekiranya bukan TUHAN yang di pihak kita…”. Kalimat ini bukan spekulasi, melainkan pengakuan reflektif. Pemazmur mengingat kembali ancaman yang hampir menelan mereka, digambarkan seperti banjir yang menenggelamkan, binatang buas yang siap memangsa, dan jerat pemburu. Semua itu bisa saja terjadi, tetapi tidak terjadi, karena Tuhan berpihak.
Sahabat Alkitab, mengingat kembali pertolongan Tuhan di masa lalu merupakan cara membangun ketahanan batin. Ketika kita menyadari bagaimana Tuhan pernah menyelamatkan dan menopang kita, di situlah kekuatan baru tumbuh untuk menghadapi hari ini. Pemazmur tidak bersandar pada klaim, “Kita kuat,” melainkan bersaksi, “Pertolongan kita dalam nama TUHAN.” Karena itu, saat kita berada di bawah tekanan sosial, kritik, atau bahkan penghinaan, belajarlah untuk berhenti sejenak. Arahkan pandangan bukan pada suara-suara yang melukai, melainkan kepada Tuhan. Lalu tengoklah kembali perjalanan hidup: ada masa ketika kita nyaris jatuh, namun tetap dipelihara hingga bisa berdiri. Dari ingatan itulah iman bertumbuh, bukan karena hidup selalu aman, tetapi karena kita berpegang pada satu kebenaran yang meneguhkan jiwa: ketika Tuhan berpihak kepada kita, kita tidak pernah sendirian, dan hidup kita tidak pernah sia-sia.
























