Khalil Gibran

Khalil Gibran

 

Di negara mana pun dapat ditemukan kutipan tulisan Khalil Gibran, entah dalam buku atau pigura kata-kata mutiara. Buah pena Gibran memang ibarat butir-butir mutiara bercahaya dalam sukma. Gibran mengarang belasan buku prosa dan puisi dalam bahasa Arab dan Inggris, beberapa di antaranya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Yang paling terkenal adalah Sang Nabi. Ada pula buku tentang Gibran, misalnya Menapak Jejak Khalil Gibran oleh Fuad Hasan. Sebuah sajak Gibran yang berjudul "Anakmu Sebenarnya Bukan Milikmu" banyak dikutip oleh banyak penulis sebagai gambaran mendidik anak.

Siapa Gibran? Ia seorang sastrawan Arab berkebangsaan Lebanon yang lahir pada tahun 1883 di sebuah desa yang sunyi di lereng pegunungan Jabal Al-Arz. Ayahnya seorang petani yang suka mabuk-mabukan dan memukul siapa saja. Ibunya putri seorang pendeta, suka menyanyi dan membaca. Gibran nyaris tidak bersekolah, namun ia senang belajar bahasa Arab, Perancis dan Inggris dari ibunya. Pada usia 11 tahun, Gibran bersama ibunya dan dua adik-nya yaitu Mariana dan Sultana, menyusul kakaknya yang bernama Boutros (= Petrus) pindah ke Amerika. Boutros menjadi pencari nafkah. Karena usianya baru beberapa belas tahun, gaji Boutros tidak memadai untuk keluarga itu. Akibatnya mereka tinggal di apartemen sumpek di perkampungan kumuh orang Cina di Boston. 

Namun untungnya, di Boston Gibran bisa bersekolah. Para gurunya langsung terkesan oleh kecerdasan Gibran. Karya seni sastra dan seni lukisnya membuat orang terpukau. Dua tahun kemudian Gibran begitu rindu pulang ke Lebanon. Di sana ia masuk seminari Madrasah Al-Hikmah untuk mempelajari sastra Arab kuno. Seminari ini mengutamakan pertumbuhan spiritualitas. Dua kali sehari para murid dan guru berkontemplasi di depan salib Kristus. Pengalaman ini mewarnai sikap religius Gibran dalam karya sastra dan lukisnya kelak. 

Pada usia 18 tahun Gibran pindah ke Paris untuk belajar melukis. Namun setahun kemudian ia harus kembali ke Boston karena Sultana, adiknya sakit tuberkulose dan meninggal dunia. Gibran sangat terpukul. Lalu musibah lain menyusul. Belum setahun setelah itu, Boutros, kakaknya yang merupakan pencari nafkah dalam keluarga, juga meninggal dunia. Seakan-akan penderitaan ini masih belum cukup, empat bulan kemudian ibunya pun meninggal dunia. 

Tinggallah Gibran dengan Mariana, adiknya. Mariana menyambung hidup dengan menerima jahitan dan Gibran menjilid buku untuk percetakan. Gibran juga melukis dan menjajakan lukisannya. Tetapi pada suatu pameran, ruang pameran dan semua lukisan Gibran musnah terbakar. 

Itu hanya sekelumit dari sekian banyak penderitaan Khalil Gibran. Sepanjang hidupnya ia mengalami musibah yang datang silih berganti. Namun ia bersaksi bahwa justru luka-luka penderitaan itulah yang menumbuhkan ia menjadi bijak. Suka dan duka silih berganti seperti musim dan tiap musim mengandung ketakjubannya sendiri. Ia menulis: 

 

…sebagaimana biji buah mesti pecah, agar intinya terbuka merekah

bagai curahan cahaya surya, demikian pun bagimu kemestian tak terelakkan

mengenal derita serta merasakan kepedihan. 

Kalau saja hatimu peka digetari ketakjuban, maka derita pedih tidak kurang menakjubkan

daripada kegembiraan;

dan kau pun akan rela menerima pergantian musim di hatimu

 

Sejak usia 9 tahun Gibran sudah menghayati hidup sebagai mahkota sekaligus salib. Gibran senang berlari-lari di lereng gunung dan memandangi puncak gunung sebagai mahkota Tuhan. Pada suatu hari ia jatuh dari tebing. Tulang bahunya patah. Selama berbulan-bulan ia berbaring dengan bahu dan kedua lengan terikat pada papan berbentuk salib supaya bahunya tumbuh kembali. Ia merasa seperti Kristus yang disalib. Tiap hari ia merenungkan ucapan Kristus:

“Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk. 9:23). Sambil melihat ke luar jendela dan memandang puncak gunung Gibran merenung bahwa mengikuti Kristus adalah memakai mahkota keagungan sekaligus memikul salib penderitaan. 

Pedihnya penderitaan yang dirasakan oleh Gibran ibarat pedihnya seekor kerang yang kemasukan sebutir pasir sehingga kerang itu terluka. Namun dari luka itu bisa tumbuhnya sebutir mutiara yang indah. Gibran menulis: 

 

Aku terlahir dengan panah tertancap di jantungku, 

Jika dicabut sakit sekali, jika dibiarkan pun sakit….

Aku hidup dalam diriku seperti kerang.

Aku ibarat kerang berupaya membentuk butiran mutiara dari jantungku sendiri…

 

Pada usia 40-an rupa-rupa penyakit menimpa Gibran. Namun ia terus berkarya. Bahkan dalam penderitaannya ia malah menjadi semakin kreatif dan produktif. Ia merasa menanggung suatu tanggungan batin yang ingin dibagi kepada orang lain sebagai kesaksian hidupnya. 

Karya Gibran melambangkan hakikat hidupnya: hidup adalah mahkota sekaligus salib. Gibran diagungkan oleh banyak orang dari segala penjuru dunia, namun orang-orang ini tidak tahu bahwa kata-kata mutiara yang indah dengan ilham itu sebetulnya muncul dari luka kerang yang sedang kesakitan.

Pada usia 48 tahun Gibran meninggal dunia. Kerang itu sudah terlalu banyak terluka. Kerang itu tidak mampu lagi menahan pedihnya luka. Kerang itu tidak bisa lagi membentuk mutiara. Maka jenazah Gibran dibawa dari New York ke Lebanon dan dimakamkan dalam sebuah gua di biara Mar Sarkis, tempat ia dulu sebagai bocah sering duduk di bawah pohon aras menatapi bukit dan lembah, tempat ia dulu suka termenung, merasa karib dengan bumi dan akrab dengan surga. 

Sebelum dimakamkan, jenazah Gibran disemayamkan di gereja St. George di Beirut. Di situ hadir orang dari berbagai mazhab agama: Sunni, Shi'a, Druze, Yahudi, Ortodoks Yunani, Maronit, Anglikan, Katolik, Protestan dan lainnya. Dalam ibadah itu menggulirlah butir-butir mutiara dari kerang yang deritanya kini telah berakhir:

 

Pabila gema tutur kataku tiada lagi mengiang di telingamu

dan ingatan akan kasih sayangku telar pudar dari lubuk kenangan, 

itulah saatnya aku akan datang kembali

untuk bicara dengan hati yang lebih berhikmah dan bibir yang lebih pasrah 

kepada roh yang suci.

 

Ya, aku akan kembali…

walau maut telah menyembunyikan jasadku 

dan kesunyian agung telah menyelimutiku

aku akan masih mencari pengertianmu 

dan yakin taka akan sia-sia untuk bertemu

Pabila tutur kata-kataku merupakan kebenaran, 

kebenaran itu akan mewujudkan diri 

dalam suara yang lebih bening 

berupa kata-kata yang lebih akrab dengan lubuk hati.

Aku pergi bersama angin, 

tetapi bukan menuju alam kekosongan. 

Pabila hari ini belum juga merupakan pemenuhan kebutuhanmu, 

belum menjadi perwujudan kasihku yang sempurna,

biarlah ia menjadi hari perjanjian antara kau dan aku, 

perjanjian sampai suatu hari lain kita bersua.



 

Selamat Berkiprah. Andar Ismail. 2001. BPK Gunung Mulia