Di berbagai belahan dunia, kita mendengar kisah memilukan tentang saudara-saudari seiman yang kehilangan tempat ibadah mereka. Belum lama ini, sebuah gereja di Nigeria diserang ketika umat sedang beribadah, sehingga menelan banyak korban jiwa. Peristiwa tragis ini mengingatkan kita betapa rapuhnya ruang persekutuan ketika kebencian dibiarkan berkuasa. Namun di sisi lain, ada pula mereka yang dengan sengaja meninggalkan persekutuan. Mungkin karena luka dari pengalaman bersama komunitas, atau karena derasnya arus nilai-nilai zaman yang membuat ibadah dianggap tidak lagi penting. Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendalam, “Bagaimana kita menilai arti sebuah tempat kudus dalam kehidupan iman kita?”
Kontras dengan kondisi ini, Mazmur 84 menyingkapkan kerinduan yang meluap-luap dari pemazmur akan rumah Tuhan. Bait Allah bukan hanya tempat suci, melainkan pusat kerinduan eksistensial, “Betapa menyenangkan tempat kediaman-Mu, ya TUHAN Semesta Alam!” (ayat 2). Kerinduan itu begitu dalam hingga digambarkan sebagai hati yang ‘hancur’ sekaligus jiwa raga yang ‘bersorak-sorai’. Sebuah paradoks yang memperlihatkan kompleksitas batin manusia yang rindu pada Yang Ilahi. Menariknya, bukan hanya manusia yang dirasuki kerinduan ini, bahkan burung pipit dan burung layang-layang pun tampak menemukan rumah di dekat mezbah-Nya. Detail kecil ini membuka kesadaran bahwa hadirat Allah meliputi seluruh ciptaan, bukan hanya umat-Nya.
Mazmur ini juga menghadirkan dinamika perjalanan batin melalui gambaran para peziarah. Mereka yang berjalan menuju Sion disebut berbahagia karena kekuatannya di dalam Tuhan (ayat 6). Lembah kering dan gersang dalam perjalanan berubah menjadi sumber kesegaran, karena sukacita batin mampu menata ulang realitas eksternal. Kita dapat melihat bahwa kerinduan yang mendalam ini memberi daya tahan emosional dan spiritual. Kerinduan itu mengubah penderitaan menjadi energi, membuat langkah kaki yang letih justru ‘makin lama makin kuat’. Bahkan doa pemazmur bagi raja (ayat 10) memperlihatkan dimensi sosial: bahwa kerinduan akan Tuhan tidak berhenti pada pengalaman personal, tetapi mengalir menjadi doa demi kebaikan bangsa.
Pesan utama nyanyian ini tampak dalam pengakuan, “Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu daripada seribu hari di tempat lain” (ayat 11). Sukacita berada di ambang pintu rumah Allah jauh lebih bernilai daripada kemegahan di tempat orang fasik. Sebab Tuhan adalah ‘matahari dan perisai’, sumber hidup sekaligus pelindung. Maka, pesan dari mazmur ini menantang kita, “Apakah kita masih menaruh kerinduan yang sama akan hadirat Tuhan, ataukah tanpa sadar kita hanya berjalan dalam kebiasaan rohani yang kosong dari makna?” Di tengah dunia yang diwarnai dengan berbagai kehilangan, entah karena kekerasan maupun keacuhan, Mazmur 84 mengingatkan bahwa kerinduan kepada Allah mampu memulihkan luka, memberi makna, dan menyalakan sukacita yang sejati. Kerinduan inilah yang bukan hanya menghidupkan iman, tetapi juga menolong kita melihat dunia dengan mata yang lebih jernih: bahwa di balik rapuhnya manusia, ada Allah yang hidup, yang menjadi rumah bagi segala kerinduan kita.