Dalam hidup ini, ada saat-saat di mana kita merasa seperti daun yang terombang-ambing di tengah badai. Seperti daun yang tanpa kendali, kita dikejar oleh angin nasib yang tak dapat kita hindari. Dalam kelemahan dan penderitaan, kita mungkin merasa terasingkan dari Allah, seolah-olah Dia bersembunyi, tidak mendengarkan teriakan hati kita. Pada saat-saat seperti ini, kita bertanya: apakah segala yang kita alami ini adalah akibat dari dosa kita, atau adakah alasan yang lebih dalam yang tak mampu kita mengerti?
Ayub, dalam penderitaannya yang luar biasa, tidak hanya bertanya tentang alasan di balik penderitaan itu, tetapi juga berusaha memahami kondisi hubungan dirinya dengan Allah, yang tampaknya telah menjauh darinya. Sekali lagi, dalam ayat-ayat ini, ia mengajukan permohonan penuh harapan kepada Allah, menginginkan jawaban atas pergumulannya. “Hanya jangan Kaulakukan terhadap aku dua hal ini,” demikian Ayub memohon, “jauhkanlah kiranya tangan-Mu dariku”. Dalam perikop ini, Ayub tidak meminta Allah untuk menghapuskan penderitaannya, tetapi untuk mengembalikan hubungan yang sudah terasa jauh karena penderitaan yang dialaminya. Ia merindukan kehadiran Allah yang nyata dan menginginkan agar komunikasi dengan-Nya tidak terputus. Selanjutnya Ayub juga memohon agar Allah mengungkapkan segala dosanya. Permintaannya ini tak lain karena ia merasa tak bersalah, tetapi dengan kerendahan hati ia tetap membuka ruang bagi kemungkinan bahwa ada dosa yang tersembunyi dalam hidupnya. Dalam ketidaktahuannya, ia mencari kebenaran dengan hati yang tulus.
Pada ujung rangkaian pembelaannya, Ayub mengakhiri pernyataannya dengan sebuah refleksi akan kefanaan manusia, “Orang rapuh seperti kayu lapuk, seperti kain yang dimakan ngengat!” Ayub menyadari betapa rapuhnya kehidupan manusia. Manusia, dengan segala ambisi dan kebanggaannya, pada akhirnya hanyalah seperti daun yang gugur, pakaian yang lapuk dimakan waktu. Ia mengingatkan kita bahwa segala yang kita miliki dan perjuangkan di dunia ini adalah sementara. Namun, dalam kefanaan itu, ada panggilan untuk hidup dengan hikmat dan ketulusan di hadapan Allah.
Sahabat Alkitab, adakah diantara kita saat ini, merasa terombang-ambing oleh penderitaan yang tidak kita mengerti? Maka, seperti Ayub, marilah berjuang untuk terus mencari dan mendengarkan suara Tuhan, terbuka terhadap beragam kemungkinan yang tak kita pahami. Melalui Ayub kita juga belajar untuk memelihara kedekatan dengan-Nya, meskipun penderitaan datang silih berganti. Hal ini adalah sebuah nasihat yang berharga, karena biasanya kita cenderung menghindari Allah saat sesuatu yang tidak kita inginkan terjadi dalam hidup.